Langsung ke konten utama

Tarawih di Ampel

Berawal dari target saya di bulan ramadhan tahun ini yang terlanjur saya tulis yaitu 3 kali shalat tarawih di Ampel dan 2 kali khatam Qur'an. Maka, ya harus saya jalankan. Target tercapai atau tidak, itu urusan nanti.

Kemarin siang sekitar pukul dua saya berangkat dari rumah menuju ke Perpustakaan di balai pemuda. Agak macet sih di perjalanan. Sampai sana hampir pukul tiga-an. Saya putuskan ke mushola dulu untuk baca Qur'an sambil menunggu waktu shalat ashar. Selesai shalat ashar saya langsung bergegas masuk perpus. Langsung terasa aroma buku-buku yang minta untuk dibaca.



Diantara ribuan buku yang berjajar rapi di rak, saya memilih judul memburu kurawa karya pitoyo amrih. Saya baca beberapa halaman, ah kurang menarik menurut saya karena bahasanya yang teramat sederhana. kalau dari segi cerita sih bagus. Namanya juga cerita wayang. Saya beralih ke buku anak bajang menggiring angin karya sindhunata. Sebuah novel pewayangan yang apik. Sekitar pukul 5 sore saya tutup buku yang saya baca kemudian keluar perpus melanjutkan perjalanan ke ampel.

Dari perpus saya mengambil jalan ke arah pasar kembang terus lurus ke arah dukuh kupang. Sebelum bangunan fly over saya putar balik ke arah jalan arjuna berturut-turut ke jalan semarang, tugu pahlawan kemudian belok kiri ke arah jalan rajawali terus lurus melewati JMP.

Sampailah saya di Ampel. Salah satu kawasan di Surabaya yang terkenal dengan nama kampung arab. Karena mayoritas pedagang di sini keturunan arab. Beberapa puluh meter dari Masjid, ada makam yang setiap hari ramai di ziarahi orang-orang yaitu milik Sunan Ampel salah seorang dari wali songo.

Saya ambil air wudhu dan baca Qur'an menunggu waktu berbuka. matahari pun terbenam sempurna, azan maghrib pun berkumandang. Sebotol mizone rasa jeruk dan kurma menemani saya berbuka di Masjid Ampel. Selesai shalat maghrib, saya teruskan tadarus sambil menunggu waktu shalat isya'.

Selesai shalat Isya' dilanjutkan dengan shalat tarawih. Stamina saya harus bagus, sebab shalat tarawih di sini relatif lama jika dibandingkan dengan Masjid lain. Sekitar 3 jam shalat tarawih 20 rakaat + 3 rakaat witir. Cukup menguras tenaga dan kesabaran, tapi itu semua terobati dengan bacaan tartil sang Imam yang merdu. Saya jadi membayangkan bagaimana jika di Masjidil Haram. Alhamdulillah, selesai juga shalat tarawih. Sebelum pulang  beli kurma dulu, karena ada yang nitip.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NYEKAR DI MAKAM SIMBAH

Pagi ini sehabis subuh. Aku dan kakak sepupuku sepakat untuk berangkat ke Nganjuk. Kami ingin nyekar/ berziarah ke Makam simbah. Harusnya kemarin aku pulang, tetapi tidak jadi. Maka, pagi inilah rencanaku berhasil kuubah menjadi kenyataan.  Makam desa ini tanahnya becek sepertinya sisa hujan kemarin. Banyak daun-daun trembesi yang gugur mengotori permukaan tanah makam. Petugas makam mungkin lupa membersihkan atau memang sengaja dibiarkan agar anak cucu Sohibul makam lebih peduli dan punya inisiatif untuk menyapu dan memungut dedaunan itu.  Hari ini, sehari menjelang Ramadan. Banyak orang membawa tas kresek berisi bunga tabur. Rasanya memang tidak lengkap jika sowan dengan tangan kosong. Orang-orang sibuk berdoa, melanjutkan harapan-harapan baik untuk sanak keluarga yang sudah lebih dulu "pulang" ke kampung asal. Alam ruh, barzah.  Simbahku telah lama berpulang. Mungkin "di sana" beliau juga sedang bersiap menyambut datangnya ramadan. Bulan dilipatgandakannya segala ...

NEGERI HALIMUN

Sumber gambar: pixabay.com Kawanan Zebra berlari di jalanan. Ada pula Gajah, Badak, Serigala, yang memenuhi jalan. Ia    mengucek matanya. Seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Di dalam rumah-rumah pun sama. “Ini tidak benar, ini hanya mimpi.” Ia mencubit lengan kemudian menampar pipinya. Terasa sakit. Kenapa semuanya tiba-tiba berubah dalam sekejap? apa yang terjadi sebenarnya? Berbagai pertanyaa n berjejal memenuhi otak dan menuntut jawaban. Tanah yang ia pijak masih normal , tidak berubah menjadi lahar atau padang pasir. Rumah-rumah pun masih tampak seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Tapi ke mana mereka? Ke mana semuanya? Ada apa dengan kota ini. Atau pertanyaannya, apa yang terjadi dengan diriku?

PANDEMI PERGI, KAMI BERANGKAT

Hidup adalah perjalanan, maka sering-seringlah berjalan. Melangkahkan kaki, melihat dunia. Kemudian ukuran perjalanan, bukanlah seberapa jauh jarak yang kita tempuh. Melainkan seberapa banyak pelajaran dan hikmah yang kita dapat. Kemudian dengan itu, dapat merubah cara pandang kita menjadi lebih baik dan lebih luas. Melihat sawah di belakang rumah, berkunjung ke pasar, berziarah ke makam juga merupakan sebuah perjalanan. Tak perlu tergesa berpikir terlalu jauh untuk piknik ke luar negeri dan menjadi turis—meskipun ini juga menjadi cita-cita saya. Mulai saja dari yang dekat. Seratus meter, dua ratus meter dari rumah untuk mengenal keadaan sekitar, menggerakkan badan dan pikiran. Sebab, salah satu esensi sebuah perjalanan adalah bergerak, ‘membaca’ dan mengenal. Melihat dan mendengar. Kita belajar. Tholabul ilmi. Kita belajar dari mana saja. Dari apa yang kita lihat, dengar dan rasakan. Dan alam yang luas ini, salah satu guru terbaik. Alam takambang menjadi guru, kata salah satu pepatah...