Langsung ke konten utama

Kisah Cinta Arimbi

Sumber: google
Alkisah dalam dunia pewayangan diceritakan bahwa Pandawa dan Ibunya diusir ke hutan oleh kurawa setelah kalah berjudi untuk ke sekian kalinya. Maka, berangkatlah mereka menuju hutan. Setelah mendaki bukit, menuruni lembah, memutari gunung tapi untungnya tidak memanjat tebing. Karena mereka memang bukan anggota MAPALA. Mereka terus berjalan tanpa henti seperti lagunya Nidji.

Hingga sampailah mereka di hutan yang amat lebat.
"Ora koyok saiki, alase wis gundul, plontos."
Pandawa dan Ibundanya memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon kelapa. Eh bukan dink, pohon beringin kayaknya. Mereka tak menyadari kalau ternyata hutan ini masuk kawasan Perhutani kerajaan Pringgadani. Sang Raja bernama Prabu Arimba, raksasa yang lebih besar dari Hulk, mungkin seukuran patung liberty. Sebab, Pringgadani memang negerinya kaum raksasa.


Sang Prabu yang diberitahu oleh ajudannya yang menjadi kepala CIA nya kerajaan bahwa ada orang asing yang tidak membawa paspor alias ilegal masuk ke negerinya. Sang Prabu menjadi murka, kemudian mengutus adiknya untuk mengamati lebih dekat. Yaitu Dewi Arimbi yang juga berwujud raksasa. Boso jowone raseksi.
"Nek jaremu yo, Ra Seksi blass."

Saat itu Arimbi sedang mengintip. Dan melihat dengan mata kepala sendiri, bukan lewat Google Earth apalagi CCTV. Werkudara atau Bima sedang menebang pohon dengan tangan kosong, tidak pakai kapak, tlabung, opo maneh geraji mesin. Seketika itu, Arimbi terpesona oleh ketampanan dan kekarnya badan Bima yang mirip atlet binaraga. Intinya, Arimbi langsung jatuh bangun aku mengejarmu.
"Huss, iku lak lagu dangdut jeh."
Eh maksudnya jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Lha ngono lo sing bener. Ciye, suit-suit. Senenge reekk."
Arimbi terkesima, terpesona, terpana, dan ter... ter...yang lain. Jantungnya berdegub keras dag dig dug dug dug seperti suara bedug. Ia mendekati Bima. Setelah berhadapan, pipinya merona merah muda.
"Tapi kan Arimbi raksasa jeh, mosok iso merona."
"Ya bisa dong, namanya juga lagi kasmaran. Wis ah, menengo. Tak terusno critane."

Meskipun berwujud raksasa dan buruk rupa, tapi Arimbi memiliki kejernihan hati dan ketulusan cinta. Itulah yang menjadi modal utamanya. Cintanya tulus terhadap Bima. Meski ditolak berkali-kali oleh sang pujaan hati, ia maju terus pantang mundur. Maju tak gentar membela yang bayar hehe. Sampai-sampai ia bersimpuh di kaki Bima, agar diterima cintanya. Kemana pun Bima pergi, ia ikuti. Sambil menggandol di kaki Bima.
 "Dadi Bimo mlaku ambek nyeret-nyeret Arimbi ngono, wah terlalu dramatis iku bro."
Sumber: google
Bima tetap tak menoleh sedikitpun. Hingga Arimbi menemui Ibu Kunti. Menyandarkan kepala di pangkuannya. Mengadukan keluh-kesah yang dirasakannya. Menangislah Dewi Arimbi, sambil terisak, ia curhat. Mencurahkan segala isi hatinya. Bahwa ia teramat mencintai putranya, yaitu Bima. Ibu Kunti merasa kasihan, kemudian membelai rambut Arimbi dengan penuh rasa sayang.

Ibunda Pandawa trenyuh hatinya mendengar penuturan Arimbi. Beliau pun mengucapkan kata-kata motivasi untuk menghibur bocah raksasa perempuan ini.
"Nduk, biarpun wajahmu jelek, tapi kecantikan hatimu memancarkan pesona yang indah. Sesungguhnya kamu perempuan yang cantik."


Sumber: google 
Kata-kata yang keluar dari sanubari yang suci dan Bernafaskan doa dan terbang melesat menembus langit. Negeri Kahyangan Bergetar. Para Dewa sepakat mengamini. Seketika itu pula, simsalabim bukan sulap bukan sihir. Arimbi berubah menjadi gadis cantik jelita dengan body yang aduhai. Mirip bidadari bermata jeli.
 "Dian sastro mah lewat"
Sekarang gantian, Bima yang terpesona sampai melongo. Ia berdecak kagum terhadap perubahan yang terjadi pada Arimbi.

"Tak cepetno ae yo critane?."
Bima kemudian meminang dan menikahi Arimbi dengan maskawin seperangkat alat perang dibayar tunai. Ijab-qabul berjalan lancar. Para saksi mengatakan sah. Mereka pun berbulan madu ke Paris dan hidup berbahagia. Sakinah mawaddah warohmah amin.

Tak lama berselang, "eh agak lama dink."
Lahirlah jabang tetuka yaitu Gatotkaca, Superman Tanah Jawa. Yang kelak menjadi salah satu panglima Perang ketika Bharatayuda terjadi. The end.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NYEKAR DI MAKAM SIMBAH

Pagi ini sehabis subuh. Aku dan kakak sepupuku sepakat untuk berangkat ke Nganjuk. Kami ingin nyekar/ berziarah ke Makam simbah. Harusnya kemarin aku pulang, tetapi tidak jadi. Maka, pagi inilah rencanaku berhasil kuubah menjadi kenyataan.  Makam desa ini tanahnya becek sepertinya sisa hujan kemarin. Banyak daun-daun trembesi yang gugur mengotori permukaan tanah makam. Petugas makam mungkin lupa membersihkan atau memang sengaja dibiarkan agar anak cucu Sohibul makam lebih peduli dan punya inisiatif untuk menyapu dan memungut dedaunan itu.  Hari ini, sehari menjelang Ramadan. Banyak orang membawa tas kresek berisi bunga tabur. Rasanya memang tidak lengkap jika sowan dengan tangan kosong. Orang-orang sibuk berdoa, melanjutkan harapan-harapan baik untuk sanak keluarga yang sudah lebih dulu "pulang" ke kampung asal. Alam ruh, barzah.  Simbahku telah lama berpulang. Mungkin "di sana" beliau juga sedang bersiap menyambut datangnya ramadan. Bulan dilipatgandakannya segala ...

Simbok di Pasar

ilustrasi: google Pagi menjelang. Embun masih enggan mengering dari dedaunan. Matahari masih belum menampakkan sinarnya. Seorang Ibu yang sudah sepuh menggendong rinjing (keranjang bambu) memasuki pasar untuk menggelar dagangannya. Disertai doa dan harapan agar banyak yg membeli barang dagangannya hari ini. Dari raut wajahnya, menunjukkan ketegaran hati, rasa optimisme dan semangat juang yg gigih dalam mencari nafkah. Dagangannya berupa sayur-sayuran. Ada jagung, sawi, kangkung, tomat, dan cabe juga pisang kepok. Ia gelar tikar. Satu persatu sayur mayur ia keluarkan dari rinjing. Ia tata rapi di atas tikar. Saya pun berjalan mendekati beliau. "Mbok, pisang kepok'e setunggal cengkeh pintenan?" Tanya saya seraya memilih pisang kepok. "Sepuluh ewu nak," jawab Simbok. Sembari memilih, saya ajak beliau ngobrol. "Rumahnya mana mbok?" "Saya aslinya Babat Lamongan." "Wis suwe mbok jualan dipasar sini?" "O...