Langsung ke konten utama

Ke Krian Naik Angkot

Entahlah, sepertinya budaya ngetem angkot dari dulu sampai sekarang tak bisa dihilangkan. Apalagi sekarang banyak angkutan yang lebih modern, seperti ojek online, taxi online yang keberadaannya kian marak. Hal ini tentu tak bisa lepas dari canggihnya teknologi yang berkembang pesat. Semacam smartphone android yang sungguh memanjakan penggunanya. Maka peluang untuk menjadikan teknologi sebagai sarana berbisnis pun terbuka lebar.




Mungkin itulah salah satu faktor yang memicu angkot ngetem bertambah parah. Dengan adanya pesaing baru yang lebih modern, maka penghasilan sopir angkot kian menurun. Apalagi ditambah dengan buruknya layanan dan kondisi armada angkot yang telah usang.


Saat tulisan ini saya tulis, saya berada di dalam angkot yang lagi ngetem di terminal Benowo. Saya ingin menuju Krian. Sudah setengah jam saya menunggu. Dan pak sopir masih tenang saja tak bergegas untuk menyalakan mesin. Hampir satu jam saya menunggu, barulah si sopir berinisiatif untuk berangkat setelah angkot hampir penuh.


Apa yang saya alami adalah contoh  kecil dari sekian banyak kejadian penumpang angkot yang harus rela mengalah demi sang sopir angkot yang seenaknya saja ngetem tanpa menghiraukan perasaan dan kondisi si penumpang itu sendiri. Bukan maksud saya untuk berburuk sangka, namun realita yang terjadi begitu adalah bukti yang tak bisa disembunyikan. Mungkin saya kelihatannya terlampau subyektif dalam berpendapat, tapi biarlah kalau memang dianggap seperti itu.

Saya yakin, banyak diantara kita yang pernah naik angkot pasti mengalami kejadian seperti saya. Mungkin banyak yang menganggap biasa saja peristiwa seperti ini. Karena saking seringnya ngetem. Hingga Menjadi ciri khas angkot, kemudian kita sebagai penumpang akhirnya memaklumi dan memaafkan Dengan terpaksa.

Memang kita sebagai penumpang tak bisa berbuat apa-apa. Jika kita protes, maka sang sopir akan dengan senang hati menyuruh kita untuk mencari angkutan lain. Sekali lagi kita kalah posisi. Tak berdaya.

Maka menutup tulisan ini, saya lebih suka jika transportasi, khususnya angkot di kelola oleh Pemerintah. Dan sopirnya digaji. Dengan begitu saya rasa angkot akan Lebih tertib dan tepat waktu. Saya juga belum tahu bagaimana cara merealisasikannya, tapi saya yakin jika Pemerintah mau bergerak maka tak ada yang mustahil. Apalagi saya juga banyak mendengar bahwa sekarang pendapatan sopir angkot kian menurun.

Sebagai angkutan murah dan nyaman dikantong, angkot masih menjadi favorit saya. Masyarakat ekonomi kelas bawah juga masih membutuhkan keberadaannya. Sudah saatnya angkot melakukan inovasi. Dan Pemerintah yang harus memelopori itu. Semoga.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

NYEKAR DI MAKAM SIMBAH

Pagi ini sehabis subuh. Aku dan kakak sepupuku sepakat untuk berangkat ke Nganjuk. Kami ingin nyekar/ berziarah ke Makam simbah. Harusnya kemarin aku pulang, tetapi tidak jadi. Maka, pagi inilah rencanaku berhasil kuubah menjadi kenyataan.  Makam desa ini tanahnya becek sepertinya sisa hujan kemarin. Banyak daun-daun trembesi yang gugur mengotori permukaan tanah makam. Petugas makam mungkin lupa membersihkan atau memang sengaja dibiarkan agar anak cucu Sohibul makam lebih peduli dan punya inisiatif untuk menyapu dan memungut dedaunan itu.  Hari ini, sehari menjelang Ramadan. Banyak orang membawa tas kresek berisi bunga tabur. Rasanya memang tidak lengkap jika sowan dengan tangan kosong. Orang-orang sibuk berdoa, melanjutkan harapan-harapan baik untuk sanak keluarga yang sudah lebih dulu "pulang" ke kampung asal. Alam ruh, barzah.  Simbahku telah lama berpulang. Mungkin "di sana" beliau juga sedang bersiap menyambut datangnya ramadan. Bulan dilipatgandakannya segala ...

NEGERI HALIMUN

Sumber gambar: pixabay.com Kawanan Zebra berlari di jalanan. Ada pula Gajah, Badak, Serigala, yang memenuhi jalan. Ia    mengucek matanya. Seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Di dalam rumah-rumah pun sama. “Ini tidak benar, ini hanya mimpi.” Ia mencubit lengan kemudian menampar pipinya. Terasa sakit. Kenapa semuanya tiba-tiba berubah dalam sekejap? apa yang terjadi sebenarnya? Berbagai pertanyaa n berjejal memenuhi otak dan menuntut jawaban. Tanah yang ia pijak masih normal , tidak berubah menjadi lahar atau padang pasir. Rumah-rumah pun masih tampak seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Tapi ke mana mereka? Ke mana semuanya? Ada apa dengan kota ini. Atau pertanyaannya, apa yang terjadi dengan diriku?

PANDEMI PERGI, KAMI BERANGKAT

Hidup adalah perjalanan, maka sering-seringlah berjalan. Melangkahkan kaki, melihat dunia. Kemudian ukuran perjalanan, bukanlah seberapa jauh jarak yang kita tempuh. Melainkan seberapa banyak pelajaran dan hikmah yang kita dapat. Kemudian dengan itu, dapat merubah cara pandang kita menjadi lebih baik dan lebih luas. Melihat sawah di belakang rumah, berkunjung ke pasar, berziarah ke makam juga merupakan sebuah perjalanan. Tak perlu tergesa berpikir terlalu jauh untuk piknik ke luar negeri dan menjadi turis—meskipun ini juga menjadi cita-cita saya. Mulai saja dari yang dekat. Seratus meter, dua ratus meter dari rumah untuk mengenal keadaan sekitar, menggerakkan badan dan pikiran. Sebab, salah satu esensi sebuah perjalanan adalah bergerak, ‘membaca’ dan mengenal. Melihat dan mendengar. Kita belajar. Tholabul ilmi. Kita belajar dari mana saja. Dari apa yang kita lihat, dengar dan rasakan. Dan alam yang luas ini, salah satu guru terbaik. Alam takambang menjadi guru, kata salah satu pepatah...