Langsung ke konten utama

Apa Itu Mantan




Judul buku                  : Menjenguk Mantan
Penulis                        : Zayyin Achmad
Penerbit                      : Indie Book Corner
Cetakan                      : Pertama, 2017
ISBN                            : 978-602-3092-45-1
Jumlah halaman         : 170 hal

Sinopsis :
Dari kisah-kisah jahatnya aku menyesal mendengar
bahwa Negara ini adalah seorang perempuan
Menghamili Negara
                       
Ku utus puisi terakhir untuk menggantikan tubuhku
peluklah ia kapan saja kau butuh

Puisi Terakhir

Kunikahi kau dengan seperangkat puisi tiap malam akan kuajari kau
cara termanis memperlakukan sonata di atas ranjang
Kunikahi Kau Dengan Seperangkat Puisi


Melihat sampulnya dengan warna dasar putih dan dipadu dengan gambar perempuan berjilbab berwarna pink dengan mata terpejam ini memberikan kesan melankolis dan khas perempuan. Mata terpejam tetapi bukan untuk tidur. Memejamkan mata untuk melihat kembali serpihan-serpihan atau kepingan-kepingan peristiwa yang telah terjadi. 

Saat  membaca kata pengantar dalam buku ini,  saya setuju bahwa kata mantan tak melulu berbicara mengenai kekasih atau pacar, tapi lebih luas dari itu. Setiap yang pernah kita alami adalah mantan. Entah itu menjadi sebuah kenangan yang terus melekat atau tak terekam di dalam memori otak kita sekalipun.
  
Membahas isi pada buku ini, puisi-puisi Zayyin Achmad kebanyakan tak menggunakan bahasa yang sulit dipahami. Dengan bahasa yang sederhana namun tak meninggalkan unsur keindahannya. Justru disitulah letak kekuatannya. Ia sepertinya ingin memanjakan pembaca karyanya agar tak kesulitan memahami maksud yang hendak disampaikan puisinya. Banyak puisi-puisi serupa karya penyair besar yang tak menggunakan kata maupun kalimat dengan banyak majas namun tetap memberikan kesan mendalam bagi pembacanya.
Secara keseluruhan, banyak yang saya suka puisi di dalam buku ini. Misalnya puisi dengan judul:

Hidup Benar
Melihat matahari dari dalam jendela
Mendengar kicau burung dari dalam sangkar
Meminum air dari botol kemasan
Meneguk kopi dari sachet plastik
Menyerap kesejukan kabut dari pendingin ruangan
Menyanyikan lirik dari suara recorder
Menjatuhkan cinta dari suara telephone
Merasakan aroma tubuhmu dari dalam bingkai
Lalu kapan kita benar-benar hidup?

Dalam puisi ini si penyair memilih kata-kata yang sederhana untuk mengungkapkan perasaannya. Tetapi di akhir kalimat kita diberi sebuah pertanyaan yang menggugah rasa kesadaran kita. Bahwa terkadang kita memang belum benar-benar hidup. Atau acapkali kita melakukan hal yang sia-sia. 

Ada juga puisi dengan judul Mukjizat untuk Manusia Biasa yang isinya hanya satu kata yaitu Luka. Puisi ini sangat pendek dan teramat sederhana, namun setelah kita baca akan menimbulkan pertanyaan, misalnya kenapa harus luka? Atau apa hubungan luka dengan mukjizat?. Pertanyaan semacam ini akan otomatis muncul usai membaca puisi ini. Sangat menarik. Dengan satu kata tetapi membuat kita berpikir untuk mencari jawaban atas kata itu.

Banyak tema yang diangkat oleh si penyair, tentang Agama, sosial, cinta, Negara, dan beragam hal lain. Dengan ragam tema tersebut, si penyair telah berhasil membuktikan bahwa kata ‘mantan’ memang memiliki cakupan makna yang luas. Tidak cenderung diartikan hanya sebagai mantan kekasih saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NYEKAR DI MAKAM SIMBAH

Pagi ini sehabis subuh. Aku dan kakak sepupuku sepakat untuk berangkat ke Nganjuk. Kami ingin nyekar/ berziarah ke Makam simbah. Harusnya kemarin aku pulang, tetapi tidak jadi. Maka, pagi inilah rencanaku berhasil kuubah menjadi kenyataan.  Makam desa ini tanahnya becek sepertinya sisa hujan kemarin. Banyak daun-daun trembesi yang gugur mengotori permukaan tanah makam. Petugas makam mungkin lupa membersihkan atau memang sengaja dibiarkan agar anak cucu Sohibul makam lebih peduli dan punya inisiatif untuk menyapu dan memungut dedaunan itu.  Hari ini, sehari menjelang Ramadan. Banyak orang membawa tas kresek berisi bunga tabur. Rasanya memang tidak lengkap jika sowan dengan tangan kosong. Orang-orang sibuk berdoa, melanjutkan harapan-harapan baik untuk sanak keluarga yang sudah lebih dulu "pulang" ke kampung asal. Alam ruh, barzah.  Simbahku telah lama berpulang. Mungkin "di sana" beliau juga sedang bersiap menyambut datangnya ramadan. Bulan dilipatgandakannya segala ...

NEGERI HALIMUN

Sumber gambar: pixabay.com Kawanan Zebra berlari di jalanan. Ada pula Gajah, Badak, Serigala, yang memenuhi jalan. Ia    mengucek matanya. Seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Di dalam rumah-rumah pun sama. “Ini tidak benar, ini hanya mimpi.” Ia mencubit lengan kemudian menampar pipinya. Terasa sakit. Kenapa semuanya tiba-tiba berubah dalam sekejap? apa yang terjadi sebenarnya? Berbagai pertanyaa n berjejal memenuhi otak dan menuntut jawaban. Tanah yang ia pijak masih normal , tidak berubah menjadi lahar atau padang pasir. Rumah-rumah pun masih tampak seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Tapi ke mana mereka? Ke mana semuanya? Ada apa dengan kota ini. Atau pertanyaannya, apa yang terjadi dengan diriku?

PANDEMI PERGI, KAMI BERANGKAT

Hidup adalah perjalanan, maka sering-seringlah berjalan. Melangkahkan kaki, melihat dunia. Kemudian ukuran perjalanan, bukanlah seberapa jauh jarak yang kita tempuh. Melainkan seberapa banyak pelajaran dan hikmah yang kita dapat. Kemudian dengan itu, dapat merubah cara pandang kita menjadi lebih baik dan lebih luas. Melihat sawah di belakang rumah, berkunjung ke pasar, berziarah ke makam juga merupakan sebuah perjalanan. Tak perlu tergesa berpikir terlalu jauh untuk piknik ke luar negeri dan menjadi turis—meskipun ini juga menjadi cita-cita saya. Mulai saja dari yang dekat. Seratus meter, dua ratus meter dari rumah untuk mengenal keadaan sekitar, menggerakkan badan dan pikiran. Sebab, salah satu esensi sebuah perjalanan adalah bergerak, ‘membaca’ dan mengenal. Melihat dan mendengar. Kita belajar. Tholabul ilmi. Kita belajar dari mana saja. Dari apa yang kita lihat, dengar dan rasakan. Dan alam yang luas ini, salah satu guru terbaik. Alam takambang menjadi guru, kata salah satu pepatah...