Langsung ke konten utama

Naga di Telaga Itu Berkisah Padaku


Sebuah kisah tentang harapan
Dan pengorbanan
Pada sejarah yang kini berubah
Menjadi sepotong kenangan
Tak ubahnya legenda di alam nyata
Sang Naga yang perkasa
Ingin menjadi manusia
Melingkarkan Tekad dan kesabaran tanpa cela
Pada bumi dan gunung ini

Ia menunggu dengan setia
Restu dewata
Seorang diri
Berteman sunyi
Hingga musim silih berganti
Ratusan tahun terlewati
Sampai sejengkal jarak menuju sempurna
Tapi apalah daya
Sebab titah tak dapat terbantah
Ia jengah pun pasrah
Biarlah kepastian itu terjadi

Manusia-manusia serakah membuat ulah
Membuat luka di sekujur badannya
Tanpa mengeluh ia bertahan
Dalam derai air mata
Setiap tetes darah akan menjadi kutukan
Anak kecil yang tubuhnya penuh koreng jelmaan Sang Naga
Menuntut haknya
"kembalikan semua yang kalian curi dariku."
Tapi ah, percuma saja
Ketamakan telah membutakan mereka
Sebatang lidi akan menjadi awal petaka
Banjir besar melanda
Dan menenggelamkan seisi desa
Telaga itu yang kini tersisa

Aku di sini
Di bawah rimbun daun trembesi
Menghisap rokok yang asapnya membumbung tinggi
Aku melayang
Melintasi dimensi waktu
Hingga aku sampai pada masa itu
Menyaksikan sepenggal kisahmu
Aku ingin Berteriak
Aku tercekat. Suaraku hilang
Aku hanya mampu melihat dan mendengar kau merintih

Mataku mengembun dan berujung gerimis
Seseorang dari belakang menepuk pundakku
"Mari kita pulang."
Dan matahari bersembunyi di balik kegelapan





















Komentar

Postingan populer dari blog ini

NYEKAR DI MAKAM SIMBAH

Pagi ini sehabis subuh. Aku dan kakak sepupuku sepakat untuk berangkat ke Nganjuk. Kami ingin nyekar/ berziarah ke Makam simbah. Harusnya kemarin aku pulang, tetapi tidak jadi. Maka, pagi inilah rencanaku berhasil kuubah menjadi kenyataan.  Makam desa ini tanahnya becek sepertinya sisa hujan kemarin. Banyak daun-daun trembesi yang gugur mengotori permukaan tanah makam. Petugas makam mungkin lupa membersihkan atau memang sengaja dibiarkan agar anak cucu Sohibul makam lebih peduli dan punya inisiatif untuk menyapu dan memungut dedaunan itu.  Hari ini, sehari menjelang Ramadan. Banyak orang membawa tas kresek berisi bunga tabur. Rasanya memang tidak lengkap jika sowan dengan tangan kosong. Orang-orang sibuk berdoa, melanjutkan harapan-harapan baik untuk sanak keluarga yang sudah lebih dulu "pulang" ke kampung asal. Alam ruh, barzah.  Simbahku telah lama berpulang. Mungkin "di sana" beliau juga sedang bersiap menyambut datangnya ramadan. Bulan dilipatgandakannya segala ...

NEGERI HALIMUN

Sumber gambar: pixabay.com Kawanan Zebra berlari di jalanan. Ada pula Gajah, Badak, Serigala, yang memenuhi jalan. Ia    mengucek matanya. Seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Di dalam rumah-rumah pun sama. “Ini tidak benar, ini hanya mimpi.” Ia mencubit lengan kemudian menampar pipinya. Terasa sakit. Kenapa semuanya tiba-tiba berubah dalam sekejap? apa yang terjadi sebenarnya? Berbagai pertanyaa n berjejal memenuhi otak dan menuntut jawaban. Tanah yang ia pijak masih normal , tidak berubah menjadi lahar atau padang pasir. Rumah-rumah pun masih tampak seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Tapi ke mana mereka? Ke mana semuanya? Ada apa dengan kota ini. Atau pertanyaannya, apa yang terjadi dengan diriku?

PANDEMI PERGI, KAMI BERANGKAT

Hidup adalah perjalanan, maka sering-seringlah berjalan. Melangkahkan kaki, melihat dunia. Kemudian ukuran perjalanan, bukanlah seberapa jauh jarak yang kita tempuh. Melainkan seberapa banyak pelajaran dan hikmah yang kita dapat. Kemudian dengan itu, dapat merubah cara pandang kita menjadi lebih baik dan lebih luas. Melihat sawah di belakang rumah, berkunjung ke pasar, berziarah ke makam juga merupakan sebuah perjalanan. Tak perlu tergesa berpikir terlalu jauh untuk piknik ke luar negeri dan menjadi turis—meskipun ini juga menjadi cita-cita saya. Mulai saja dari yang dekat. Seratus meter, dua ratus meter dari rumah untuk mengenal keadaan sekitar, menggerakkan badan dan pikiran. Sebab, salah satu esensi sebuah perjalanan adalah bergerak, ‘membaca’ dan mengenal. Melihat dan mendengar. Kita belajar. Tholabul ilmi. Kita belajar dari mana saja. Dari apa yang kita lihat, dengar dan rasakan. Dan alam yang luas ini, salah satu guru terbaik. Alam takambang menjadi guru, kata salah satu pepatah...