Siang itu cuaca terik.
Panas membakar. Jalanan yang macet menjadi hal lumrah yang terjadi setiap hari
di kota bajul ijo ini. Dari Krian kami belok kanan. Mobil kami terus berjalan
ke arah barat. Di sepanjang jalan, mas Yudistira yang duduk di sebelah sopir
terus mengajak ngobrol mas Roni yang memegang kemudi. Sesekali candaan
terlontar, yang menjadikan perjalanan ini tak membosankan.
Empat jam di jalan
cukup membuat saya, Samsul, mas Yudistira dan mas Roni lumayan lelah. Meskipun
sebelumnya kami sempat berhenti sejenak untuk istirahat sambil minum es degan
di warung pinggir jalan. Padahal mobil mas Roni ‘si Lebak Siyu’ julukan dari Chevrolet Captiva pun dalam kondisi
prima. Entah kenapa hari itu kami merasa kelelahan. Mungkin efek begadang tadi malam.
Kepala harimau yang
terlihat menyeramkan. Namun di atasnya bertengger burung merak dengan
bulu-bulunya yang indah. Itulah Reog. Sebuah kesenian yang lahir untuk mengkritik pemerintahan Raja Majapahit kala itu. Kesenian khas kota Ponorogo ini dulu juga pernah diklaim oleh Negara tetangga Malaysia sebagai keseniannya. Itu
menandakan bahwa Negeri ini penuh pesona, hingga Negara lain pun iri dan ingin
memiliki warisan budaya kita. Tinggal bagaimana kita merawat dan menjaganya
agar lestari.
Inilah pertama kalinya
saya ke Ponorogo. Mengunjungi rumah seorang teman, lebih tepatnya teman mas
Roni. Mas Yono namanya. Rumahnya persis disebelah rumah pengasuh Pondok Modern
Darussalam Gontor. Sudah lama saya mendengar ketenaran Pondok pesantren ini.
ditambah lagi setelah baca novelnya A. Fuadi, negeri lima menara yang bercerita tentang
pengalamannya dulu mondok. Sama seperti mas Roni yang dulu juga pernah mondok
di sini. Lulusan pondok pesantren ini pun telah diakui, banyak diantaranya yang
meneruskan pendidikannya di timur tengah, khususnya di Al Azhar Kairo.
Senja telah lewat. Kami
sampai di rumah mas Yono sekitar pukul tujuh malam. Rumah masYono terbilang
sederhana namun bersih terawat. Di depan rumah terdapat pohon mangga dan pohon
kelapa. Namun sayang, Mas Yono sedang tak berada di rumah. Ia berada di
seberang laut sana, Lampung. Kami bertemu ‘si Mbok’, panggilan akrab mas Roni
kepada ibunda mas Yono. Ada juga adik dan kakak mas Yono yang menyambut saat
kami datang.
Nasi pecel khas
Ponorogo. Itulah jamuan makan malam kami. Usai mandi dan bersih-bersih, kami
dipersilakan oleh ‘si Mbok’ untuk menikmati nasi pecel pincuk dengan bungkus
daun jati. Hhmm… sedapnya. Aroma bumbu kacang yang pas di lidah, ditambah lagi
gurihnya tempe mendoan yang masih hangat. Meskipun tanpa lauk ikan, ayam, atau
telor, dalam beberapa menit nasi pecel pun ludes. Berpindah ke perut kami
masing-masing. Entah darimana asal mula nasi pecel. Setahu saya ada dua kota
yang mendominasi. Ponorogo dan Kediri. Masing-masing memiliki ke khas-an
tersendiri. Mungkin salah satu dari kota ini yang menjadi awal mula munculnya
kuliner yang bernama PECEL. Yang jelas, Indonesia kaya akan makanan khas daerah
yang memiliki cita rasa yang ‘maknyuss tenan’ seperti kata Bondan Winarno dalam
acara kuliner yang terkenal itu.
Malam semakin larut,
satu-persatu dari kami menuju alam mimpi. Sebelumnya, mas Roni memanggil tukang
pijat yang dulu pernah menjadi langganannya. Ia akrab dipanggil mas Boy. Badan
mas Roni pegal-pegal dan masuk angin. Pukul sebelas malam mas Boy baru datang.
Habis mijat dua orang katanya. Mulailah ia memijat, tak beberapa lama, saya
mendengar mas Roni berteriak-teriak mengaduh. Hingga saya terbangun. Ternyata
mas Boy sedang mengeluarkan jurus-jurusnya dalam pijat-memijat. Ia mengerti
betul anatomi tubuh manusia. Dengan sekali sentuhan ia akan tahu dimana letak
urat yang salah dan terhubung kemana. Ilmu pijat turunan katanya. Kakeknya dulu
juga tukang pijat dan ilmunya diturunkan padanya. Dua jam berlalu, mas Roni
langsung tertidur pulas usai adegan teriak-teriak tadi.
Fajar menyingsing.
Suara adzan shubuh begitu keras terdengar. Meski mata ini masih ingin terpejam,
namun telinga saya tak bisa dibohongi. Suara yang begitu keras akhirnya
mengalahkan rasa malas saya. Usai sholat shubuh, saya mengajak Samsul
jalan-jalan. Saya ingin tahu suasana kampung ini di pagi hari. Sesekali saya
berpapasan dengan beberapa santri Pondok Gontor. Pagi ini kami akan pulang. Tapi sebelum itu kami ingin mampir untuk mendinginkan hati dan pikiran di Telaga Ngebel. Kami ingin ngadem sejenak di sana.

Komentar
Posting Komentar