Langsung ke konten utama

Muswil FLP Jatim Ke-5

Presidium Sidang
Pagi itu cuaca cerah. Tak ada sedikitpun mendung yang menggelayut di langit. Sinar matahari bebas menyinari tanpa terhalang awan. Pagi ini agak berbeda, sebab saya akan ke Ngawi untuk menghadiri acara Musyawarah Wilayah Forum Lingkar Pena Jawa Timur Ke-5. Usai mencium tangan ibu dengan takzim, saya berangkat mengendarai sepeda motor menuju Krian. Kemarin sore teman-teman telah berangkat. Mereka janjian bertemu di Terminal Bungurasih. Saya tak bisa berangkat bersama mereka sebab kemarin ada pekerjaan yang harus saya selesaikan.

Libur nasional menyambut hari raya Natal jatuh tepat pada hari senin. Maka bisa kalian bayangkan padatnya arus lalu-lintas di jalan. Libur dobel. Sejak sabtu sore banyak orang yang memilih pulang kampung. Semua alat transportasi umum bakal penuh sesak oleh penumpang. Dan benar, teman-teman saya sembilan orang yang sejak sore sudah berada di Terminal Bungurasih harus rela bosan menunggu hingga jam sepuluh malam. Tak ada satu pun bus yang longgar, semuanya penuh. Mereka akhirnya harus menyewa mobil Elf. Saya terus berkomunikasi dengan mereka lewat grup Whatsapp. Alhamdulillah, akhirnya mereka bisa berangkat. Semoga perjuangan kalian tak sia-sia, teman-teman.



Mas Angga dan Pak Rafif
Usai menitipkan sepeda motor di jasa penitipan, saya berjalan ke arah lampu merah by pass Krian untuk menunggu bus. Hampir satu jam mata saya terus mengamati bus yang lewat. Mulai Mira, Sugeng Rahayu, Eka, Harapan Jaya, semuanya sesak oleh penumpang. Banyak penumpang yang berdiri. Seolah tak ada lagi ruang, semua berdesakan. Sang Sopir dan Kondektur tersenyum. Panen besar hari ini. Saya pun memutuskan untuk mencegat bus mana saja yang lewat. Tak ada waktu lagi, pilihannya tetap sama. Saya berdoa semoga kaki ini kuat untuk berdiri sampai di kota tujuan. Ngawi. Bus Mira menjadi pilihan saya. Badan saya kini berjejal berhimpitan di dalam bus. Ketika sampai di Jombang, saya berharap banyak yang turun di sini. Ternyata nihil. Padahal kaki saya sudah mulai terasa pegal, mata saya panas. Tadi malam saya tak bisa tidur.

Sampailah saya di Terminal Nganjuk. Banyak penumpang yang turun. Ibu di sebelah tempat saya berdiri ikut turun. Saya seperti menemukan surga yang berwujud sebuah kursi penumpang. "Fuihh!" Akhirnya punggung saya bisa bersandar. Lalu-lintas masih padat merayap. "Di hutan Saradan pasti macet parah" batinku. Dugaan saya ternyata benar, kemacetan paling parah memang terjadi. Hampir dua jam. Setelah melewati Hutan itu, perjalanan pun mulus kembali.

Teman saya, mas Hendro ternyata sudah menunggu saya di Terminal Gendingan Ngawi. Ia berangkat dari Tulungagung. Kami kini tinggal menunggu jemputan. Lima belas menit menunggu di Musholla, dua orang anak berseragam SMA menghampiri kami.

Pena Award
Balai Pelatihan Pertanian Terpadu (BPPT) Ngrambe. Sebuah tempat yang sejuk di lereng gunung. Di sinilah tempat Muswil kali ini. Usai Sholat Ashar, acara pembukaan dimulai. Sambutan Ketua panitia mengawali acara ini. dilanjutkan oleh sambutan Ketua FLP Jatim dan ketua FLP pusat. Saya menyimak khususnya pada saat sambutan dari Ibu Afifah Afra, salah satu poin penting kata beliau adalah FLP harus menjadi wadah bagi calon penulis yang menghasilkan karya santun dan berkeadaban. Para peserta pun tampak antusias mendengarkan. Peserta Muswil berasal dari cabang FLP seluruh Jawa Timur. Bahkan cabang Pamekasan Madura pun datang. Sungguh luar biasa semangat teman-teman ini. Sebuah keberuntungan bagi saya bertemu mereka. Penulis-penulis hebat yang telah banyak melahirkan karya.

Sebuah karya tulis, sekecil apapun itu layak untuk dihargai. Pena Award FLP Jatim pun digelar. Penghargaan demi penghargaan pun diberikan. Teman saya Ivan menerima penghargaan sebagai penulis favorit disusul oleh masTeguh yang menerima piala sebagai penulis puisi terpuji. Disusul kemudian oleh dua teman saya yang lain.

Foto berjamaah
Acara yang ditunggu-tunggu pun tiba yaitu sidang Laporan Pertanggungjawaban ketua FLP Jatim. Namun sebelum itu, dipilihlah tiga orang Presidium sidang atau hakim. Teman saya Zayyin terpilih untuk menjadi ketua sidang dengan membawa palu dari kayu yang ternyata dibawanya sendiri dari rumah. Sidang pun dibuka. Pak Rafif Amir maju melaporkan apa yang telah dicapainya selama menjabat. Sorot lampu Proyektor memantulkan gambar di layar. Sebuah slideshow power point yang menayangkan foto-foto kegiatan FLP. Sesekali 'babe' Rafif membuat guyonan untuk mencairkan suasana. Dari peserta tak ada sanggahan. Laporan diterima, Pak Rafif pun Demisioner dengan mulus.


Seperti Pemilu kecil. Sidang pun dilanjutkan dengan agenda pemilihan ketua baru. Terpilihlah empat bakal calon, Mas Angga, Mas Baim, Mbak Zie dan Pak Rafif. Namun dua kandidat calon memilih mundur. Tak bersedia dicalonkan. Mbak Zie dan Mas Baim duduk kembali ke kursi peserta. Tinggal dua calon yang akan maju. Singkat cerita Pak Rafif terpilih kembali setelah mengalahkan Mas Angga dengan selisih hanya tiga suara. Sebuah kemenangan dengan perlawanan sengit. Namun dibalik itu semua, ketika sebuah jabatan telah berada di pundak, maka tanggung jawab besar menanti. Sebuah amanah harus dipikul. Perjuangan pun dimulai.

Perjalanan pulang
Keesokan harinya sebelum pulang. Mas Andika selaku tuan rumah mengajak kami menikmati sejuknya udara pegunungan dan indahnya pemandangan di Kebun Teh Jamus. Sebuah perkebunan teh yang telah ada sejak jaman kolonial. Didirikan oleh orang Belanda. Sebagai oleh-oleh, saya membeli tiga bingkisan teh dengan beragam aroma yang dijual berjajar di pinggir jalan. Acara selesai.

Mari kita pulang.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

NYEKAR DI MAKAM SIMBAH

Pagi ini sehabis subuh. Aku dan kakak sepupuku sepakat untuk berangkat ke Nganjuk. Kami ingin nyekar/ berziarah ke Makam simbah. Harusnya kemarin aku pulang, tetapi tidak jadi. Maka, pagi inilah rencanaku berhasil kuubah menjadi kenyataan.  Makam desa ini tanahnya becek sepertinya sisa hujan kemarin. Banyak daun-daun trembesi yang gugur mengotori permukaan tanah makam. Petugas makam mungkin lupa membersihkan atau memang sengaja dibiarkan agar anak cucu Sohibul makam lebih peduli dan punya inisiatif untuk menyapu dan memungut dedaunan itu.  Hari ini, sehari menjelang Ramadan. Banyak orang membawa tas kresek berisi bunga tabur. Rasanya memang tidak lengkap jika sowan dengan tangan kosong. Orang-orang sibuk berdoa, melanjutkan harapan-harapan baik untuk sanak keluarga yang sudah lebih dulu "pulang" ke kampung asal. Alam ruh, barzah.  Simbahku telah lama berpulang. Mungkin "di sana" beliau juga sedang bersiap menyambut datangnya ramadan. Bulan dilipatgandakannya segala ...

NEGERI HALIMUN

Sumber gambar: pixabay.com Kawanan Zebra berlari di jalanan. Ada pula Gajah, Badak, Serigala, yang memenuhi jalan. Ia    mengucek matanya. Seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Di dalam rumah-rumah pun sama. “Ini tidak benar, ini hanya mimpi.” Ia mencubit lengan kemudian menampar pipinya. Terasa sakit. Kenapa semuanya tiba-tiba berubah dalam sekejap? apa yang terjadi sebenarnya? Berbagai pertanyaa n berjejal memenuhi otak dan menuntut jawaban. Tanah yang ia pijak masih normal , tidak berubah menjadi lahar atau padang pasir. Rumah-rumah pun masih tampak seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Tapi ke mana mereka? Ke mana semuanya? Ada apa dengan kota ini. Atau pertanyaannya, apa yang terjadi dengan diriku?

PANDEMI PERGI, KAMI BERANGKAT

Hidup adalah perjalanan, maka sering-seringlah berjalan. Melangkahkan kaki, melihat dunia. Kemudian ukuran perjalanan, bukanlah seberapa jauh jarak yang kita tempuh. Melainkan seberapa banyak pelajaran dan hikmah yang kita dapat. Kemudian dengan itu, dapat merubah cara pandang kita menjadi lebih baik dan lebih luas. Melihat sawah di belakang rumah, berkunjung ke pasar, berziarah ke makam juga merupakan sebuah perjalanan. Tak perlu tergesa berpikir terlalu jauh untuk piknik ke luar negeri dan menjadi turis—meskipun ini juga menjadi cita-cita saya. Mulai saja dari yang dekat. Seratus meter, dua ratus meter dari rumah untuk mengenal keadaan sekitar, menggerakkan badan dan pikiran. Sebab, salah satu esensi sebuah perjalanan adalah bergerak, ‘membaca’ dan mengenal. Melihat dan mendengar. Kita belajar. Tholabul ilmi. Kita belajar dari mana saja. Dari apa yang kita lihat, dengar dan rasakan. Dan alam yang luas ini, salah satu guru terbaik. Alam takambang menjadi guru, kata salah satu pepatah...