Langsung ke konten utama

Bunga Kenanga dan Omah Padma


Kenanga. Kenanga. Kenanga. Belum pernah kulihat pohon kenanga sebanyak ini. Pohonnya menjulang tinggi hingga puluhan meter. Aku perkirakan usianya mencapai ratusan tahun. Kalau kalian ke sini, pasti akan sama takjubnya denganku. Biasanya kalau di sekitar rumahku, pohonnya kecil dan tak begitu tinggi. Namun di sini berbeda. Pinggiran hutan yang bertabur wangi kenanga dan menjadi berkah tersendiri bagi warga desa. Tapi dibalik itu semua, Omah Padma ikut andil memperkenalkan tempat ini kepada khalayak, juga turut memberi warna baru. Mungkin itu hanya bagian kecil dari sebuah gagasan besar yang sedang diwujudkan oleh Omah Padma. Tutur Bu Wina, selaku tuan rumah, saat kami (FLP Surabaya) berkunjung.

Pagi itu aku memesan ojek online untuk mengantarku ke Terminal Purabaya. Sesampainya di terminal, aku langsung menuju Musholla dan menunggu teman-teman. Rupanya mereka belum ada yang datang. Aku pun menunggu. Di sekelilingku banyak orang yang juga sedang menunggu. Ternyata aku tak sendirian. Sekitar setengah jam, mereka pun datang. Kita pun berangkat. 

Here we go...
Perjalanan dimulai!

Libur dobel akhir pekan. Membuat lalu lintas ke arah Malang macet parah. Jadwal kami akhirnya molor. Harusnya kami datang pukul sebelas, tapi setengah dua kami baru sampai. Padahal makan siang sudah terhidang di meja agak lama. Kasihan, makanan pun dingin. Kami disambut oleh Bu Wina dan Pak Yoes yang langsung menyuruh kami menyantap menu istimewa. Ada nasi jagung, sambal terong, ikan asin, tahu tempe, dan beberapa menu lain. Aku sebenarnya ingin nambah, tapi malu hehe.... kalian tahu minumnya apa? Pasti tebakan kalian salah. Jrenggg… ini dia minumannya, jamu sinom dan beras kencur yang dijamin bikin ketagihan. Alami sekali kawan.


Usai makan siang, kami dipersilakan beristirahat di penginapan untuk tamu. Pondok bambu beratap ilalang yang antik. Dindingnya pun terbuat dari anyaman bambu, Gedheg kalau orang jawa bilang. Di dinding depan dihiasi banyak capil cantik yang dilukis warna-warni. Aku tak tahu siapa yang melukis, mungkin Pak Yoes (suami Bu Wina), beliau kan pelukis.

Senja pun tiba. Kami bergantian membersihkan diri. Saat matahari terbenam sempurna di ufuk barat, terdengarlah suara adzan. Kami bergegas pergi ke Masjid. Namun aroma wangi kenanga meruap di udara menghampiri hidung kami. Membuatku merinding, teringat bunga tabur di makam. Mau tak mau pikiranku membayangkan hal-hal menakutkan. Para dedemit dan kroni-kroninya. Semakin kami berjalan, aroma ini semakin kuat. Fenomena ini akan terjawab keesokan paginya.
***

Pagi yang cerah. Setelah tadi malam hujan turun membasahi kampung ini. Ditambah listrik mati dua kali yang menyebabkan kami harus belajar dalam kegelapan di gazebo. Materi travel writing yang disampaikan Bu Wina harus diterangi cahaya dari senter HP. Kami takzim mendengarkan. Sesekali kami tertawa atas guyonan yang dilontarkan beliau. Syukurlah, ditengah kekhusukan kami mendengarkan materi, listrik akhirnya menyala kembali. O iya, sebelumnya kami disuguhi makan malam yang mak nyuss ditambah ada kolak durian yang aduhai, menggoda lidahku. Tapi sayang aku tak sempat mencicipi kolak itu. Perutku sudah tak muat.

Pagi ini jadwal kami harusnya dimulai dengan senam pagi. Tapi apa daya, kasur dan bantal empuk terlampau menggoda untuk diabaikan. Usai sholat shubuh, kami malas-malasan di kamar. Akibatnya ya kalian tahu sendirilah, kami terlelap lagi meski sebentar. Temanku si gondrong Along bangun paling belakangan. Tapi mungkin teman-temanku yang perempuan lebih disiplin. Entahlah, sebab kamar kami terpisah.

Pukul setengah tujuh pagi. Pak RT yang akan mengantar kami menyusuri sungai telah siap. Ya, dialah guide kami. Orangnya ramah, tak banyak bicara dan murah senyum. Setiap kami bertanya pasti dijawab dengan diiringi senyuman. Bu Wina sedang sibuk merekam sebelum kami nyemplung ke sungai.

Kami berjalan perlahan melewati beberapa rumah. Kemudian melewati jalan setapak kecil. Pohon-pohon tinggi menjulang. Kalian tahu itu pohon apa? Itulah pohon kenanga. Puluhan bahkan ratusan pohon berjajar di sepanjang jalan yang kami lewati. Kata Pak RT, setiap sore menjelang Maghrib, seluruh kampung akan mencium wangi bunga kenanga. Kegelisahanku kemarin sore terjawab. Bukan aroma mistis ternyata. Aku tertawa dalam hati, ingat ketakutanku kemarin. Ini aroma wangi yang menjadi salah satu penggerak roda ekonomi. Kampung ini menjadi sentra penghasil bunga kenanga. Kalau kalian beli bunga di Pasar Kembang Surabaya, nah, dari sinilah bunga kenanga itu. Ada juga yang membuat minyak wangi dari bunga kenanga ini. Namun sayang, kami tak bisa mampir untuk melihatnya.

Kami terus melangkah. Aku menghirup napas panjang. Mengisi paru-paruku dengan oksigen bersih pegunungan. Mataku pun terasa lebih sehat, sebab sedari tadi Jalan masih basah dan licin, sisa hujan semalam. Setelah melewati jalan menurun yang agak terjal, sampailah kami di sungai. Sungai ini diapit oleh tebing tinggi yang ditumbuhi berbagai jenis tanaman. Sungai ini lebarnya hanya tiga meter dan dangkal namun arusnya deras. Jika lebih lebar, mungkin bisa dipakai arung jeram. Banyak batu-batu besar di tengah sungai. Teman-temanku mulai sibuk foto-foto sambil senyum-senyum.

Lain lagi dengan Bu Aisya yang takut-takut masuk ke air. Trauma katanya. Dulu waktu kecil ia pernah tenggelam di sungai. Ditambah lagi kacamatanya ketinggalan. Maka aku dan Saif yang mengawalnya. Ketegangan membuat tenaganya cepat terkuras. Beberapa kali kami harus istirahat.

Dua jam kami menyusuri sungai dengan jarak tempuh sekitar tiga kilometer. Seru sekali. Kami jadi lebih kompak, saling membantu. Jika ada yang terpeleset, teman yang lain membantu. Dan kini tibalah kami di air terjun. Tingginya sekitar delapan meter. Ini saatnya aku mandi di bawah guyuran shower alami. Aku mandi dulu ya?. Kalian mau ikut?.


Usai mandi di air terjun, kami berfoto bersama. Tak ketinggalan, Pak RT pun kuajak berfoto. Selesai sudah acara susur sungai ini. Saatnya kami kembali ke Omah Padma. Hamparan sawah berundak atau terasering terpampang di sisi sungai di jalan yang kami lewati. Kami tak lewat jalan yang sama. Hingga sampailah kami di rumah Pak RT. Ternyata istrinya telah menyiapkan makanan untuk kami. Tunggu apalagi! Mari berpesta kawan.

Siang hari. Saatnya berpamitan. Sedih rasanya. Kami harus balik ke Surabaya, kembali terpenjara dalam rutinitas yang menyiksa. Waktu memang terasa begitu cepat berlalu jika kita merasa senang. Padahal aku masih kerasan di sini. Jauh dari polusi dan bising kendaraan. Jauh dari gemerlap tipu daya dan kepalsuan. Jauh dari gedung-gedung yang  meruncing menantang langit. Bahasa kerennya mungkin menyatu dengan alam. Pikiranku terasa lebih fresh dan hatiku pun lebih lapang. Hiperbolis sekali ya?
***

Apa kalian sudah merasa penasaran?

Akan kuberitahu rute kesini. Oke, simak baik-baik ya!
Omah Padma, berada di Dusun Semambung, Desa Capang, Kecamatan Purwodadi, Pasuruan. Dibangun satu tahun yang lalu oleh Bu Wina dan Pak Yoes. Diatas lahan seluas 3000m², telah berdiri tiga bangunan utama yang masing-masing memiliki fungsi sesuai perencanaan. Rute kesini mudah dan murah, kalau kalian dari Surabaya seperti aku, kalian hanya perlu naik bus dari Bungur lalu turun di depan rumah makan Sederhana. Nah, di seberang jalan ada pangkalan ojek. Kalian tinggal bilang minta diantar ke Omah Padma dan jangan lupa bayar sepuluh ribu. Maka sampailah kalian di Omah Padma. Tinggal ketuk pintu dan bilang assalamu’alaikum. Beres.

Terus apalagi ya? O iya, waktu yang tepat kalian kesini. Nah, untuk waktu yang tepat, tergantung kalian sih sebenarnya. Kapan saja boleh. Tapi aku sarankan mending pilih waktu saat musim kemarau saja dan yang paling penting pas kalian libur bekerja. Jangan lupa ajak keluarga kalian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NYEKAR DI MAKAM SIMBAH

Pagi ini sehabis subuh. Aku dan kakak sepupuku sepakat untuk berangkat ke Nganjuk. Kami ingin nyekar/ berziarah ke Makam simbah. Harusnya kemarin aku pulang, tetapi tidak jadi. Maka, pagi inilah rencanaku berhasil kuubah menjadi kenyataan.  Makam desa ini tanahnya becek sepertinya sisa hujan kemarin. Banyak daun-daun trembesi yang gugur mengotori permukaan tanah makam. Petugas makam mungkin lupa membersihkan atau memang sengaja dibiarkan agar anak cucu Sohibul makam lebih peduli dan punya inisiatif untuk menyapu dan memungut dedaunan itu.  Hari ini, sehari menjelang Ramadan. Banyak orang membawa tas kresek berisi bunga tabur. Rasanya memang tidak lengkap jika sowan dengan tangan kosong. Orang-orang sibuk berdoa, melanjutkan harapan-harapan baik untuk sanak keluarga yang sudah lebih dulu "pulang" ke kampung asal. Alam ruh, barzah.  Simbahku telah lama berpulang. Mungkin "di sana" beliau juga sedang bersiap menyambut datangnya ramadan. Bulan dilipatgandakannya segala ...

NEGERI HALIMUN

Sumber gambar: pixabay.com Kawanan Zebra berlari di jalanan. Ada pula Gajah, Badak, Serigala, yang memenuhi jalan. Ia    mengucek matanya. Seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Di dalam rumah-rumah pun sama. “Ini tidak benar, ini hanya mimpi.” Ia mencubit lengan kemudian menampar pipinya. Terasa sakit. Kenapa semuanya tiba-tiba berubah dalam sekejap? apa yang terjadi sebenarnya? Berbagai pertanyaa n berjejal memenuhi otak dan menuntut jawaban. Tanah yang ia pijak masih normal , tidak berubah menjadi lahar atau padang pasir. Rumah-rumah pun masih tampak seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Tapi ke mana mereka? Ke mana semuanya? Ada apa dengan kota ini. Atau pertanyaannya, apa yang terjadi dengan diriku?

PANDEMI PERGI, KAMI BERANGKAT

Hidup adalah perjalanan, maka sering-seringlah berjalan. Melangkahkan kaki, melihat dunia. Kemudian ukuran perjalanan, bukanlah seberapa jauh jarak yang kita tempuh. Melainkan seberapa banyak pelajaran dan hikmah yang kita dapat. Kemudian dengan itu, dapat merubah cara pandang kita menjadi lebih baik dan lebih luas. Melihat sawah di belakang rumah, berkunjung ke pasar, berziarah ke makam juga merupakan sebuah perjalanan. Tak perlu tergesa berpikir terlalu jauh untuk piknik ke luar negeri dan menjadi turis—meskipun ini juga menjadi cita-cita saya. Mulai saja dari yang dekat. Seratus meter, dua ratus meter dari rumah untuk mengenal keadaan sekitar, menggerakkan badan dan pikiran. Sebab, salah satu esensi sebuah perjalanan adalah bergerak, ‘membaca’ dan mengenal. Melihat dan mendengar. Kita belajar. Tholabul ilmi. Kita belajar dari mana saja. Dari apa yang kita lihat, dengar dan rasakan. Dan alam yang luas ini, salah satu guru terbaik. Alam takambang menjadi guru, kata salah satu pepatah...