![]() |
Sumber gambar: http://wahyudiattin.blogspot.com/2015/09 /kisah-seorang-gembel-yang-sangat.html |
Malam yang dingin.
Orang itu tiba-tiba berada disitu. Ia tidur di emperan toko elektronik dan
alat-alat listrik Pak Edi. Penampilannya awut-awutan, pakaiannya
compang-camping.
Rambutnya gimbal sepunggung. Agaknya ia kurang waras atau
mungkin gembel. Pagi hari saat Pak Edi membuka rolling door tokonya, ia melihat orang itu sedang tidur nyenyak.
Enak sekali orang itu tidur. Melihat ada orang tidur di depan tokonya, Pak Edi
geram sekali sambil menggeretakkan giginya.
“Bukk!”
“Pergi kau, dasar gembel
tak tahu diri!, bisa-bisa nggak laku daganganku!” Hardik Pak Edi sambil menggebuk orang itu memakai sapu.
Orang itu lari
terbirit-birit, seperti atlet lari yang dikejar anjing. Ia hampir saja menabrak
Gerobak Bakso di sebelah Toko. Namun tak disangka, malam
harinya orang itu kembali lagi. Dan melanjutkan aksinya untuk tidur di depan
toko. Pagi harinya, seperti biasa saat Pak Edi membuka tokonya, ia melihat
orang itu lagi sedang tidur nyenyak. Pak Edi kemudian pergi ke belakang
mengambil air seember.
“Kurang ajar, kamu
lagi!” Bentak Pak Edi sekuat tenaga sambil menyiramkan air.
Orang itu terbangun
gelagapan, ia mengira ada banjir. Saat itu ia bermimpi sedang tidur di Hotel mewah
dan kebanjiran. Tak ayal lagi, Saat mendongak ke atas, ia seperti melihat hantu
membawa ember dengan wajah memerah karena emosi.
“Pergi dari sini!” Pak
Edi melotot sambil mengacungkan ember.
“Apa sih yang ayah
lakukan? Emang orang itu salah apa sama ayah?” sahut Mirna, putri Pak Edi
muncul dari dalam toko. Ia mau berangkat kuliah dan geleng-geleng kepala melihat kelakuan
ayahnya.
“Udah, nggak usah
cerewet kamu!”
“Mirna berangkat dulu
yah, istighfar yah, jaga tu emosi. Ingat kata Dokter, entar darah tingginya
kumat lagi. Assalamu’alaikum!”
“Iya-Iya, nggak usah
ceramah. Wa’alaikum salam!”
***
Dengan tubuh basah
kuyup, orang itu lari seperti ayam yang baru disembelih. Entah pergi ke mana
orang itu. Malam harinya ternyata orang itu tak kapok juga. Ia kembali lagi ke
toko itu. Perutnya keroncongan, dari pagi belum terisi makanan. Ia mencari
tempat sampah, barangkali ada sedikit sisa makanan. Entah masih enak atau
tidak. Lumayan untuk pengganjal perut di malam hari.
Ia bukanlah pengemis,
dan tempat sampah adalah warung prasmanan gratis baginya. Tapi ia juga tak
menolak jika ada orang yang berbaik hati memberinya makanan. Ia memang sering
dikira pengemis, hingga banyak orang yang melempar uang koin saat ia
duduk-duduk di emperan sebuah toko. Memang penampilannya telah memenuhi syarat
sebagai pengemis yang patut dikasihani. Ia melamun dan masih juga tak bisa
melupakan kejadian itu. Kejadian yang mengubah keadaannya seperti saat ini.
***
Dua tahun lalu ia telah
ditipu oleh teman sekaligus rekan bisnisnya, hingga perusahaan yang baru
dirintisnya bangkrut. Istrinya sendiri telah mengkhianatinya dan kabur dengan
temannya itu. Ya, istrinya telah selingkuh dan membawa semua harta kekayaannya.
Padahal ia sangat mencintai istrinya. Rumah yang ditempati pun telah disita
Bank. Hartanya tinggal pakaian yang melekat di badan. Ia frustasi dan nyaris
bunuh diri. Keyakinannya pada Tuhan lah yang membuat ia masih bertahan hidup.
Entah apa jadinya jika ia tak punya keyakinan itu, mungkin ia sudah gila atau
mati.
***
Keesokan paginya, toko
telah buka. Si Mirna, putri Pak Edi telah siap berangkat kuliah dan berpamitan
pada ayahnya. Pak Edi ingin sarapan, ia beli nasi pecel di warung pecel Bu Sum
yang tidak jauh dari tokonya. Ia bungkus nasinya, sebab tak ada yang menjaga
tokonya. Ia memang gemar makan nasi pecel. Nikmat sekali kalau pagi hari
sarapan nasi pecel. Pak Edi sangat menikmatinya, sambal bumbu kacangnya mantap.
Pecel bu Sum memang terkenal di daerah sini.
Baru dua sendok nasi
masuk ke perutnya. Saat akan menyuapi mulutnya lagi, nasi di sendok baru menyentuh
bibir, ia merasa seperti ada orang yang mengawasinya. Dan benar saja saat ia
mendongak, di depan toko, Gelandangan itu sedang berdiri sambil nyengir saat Pak
Edi menatapnya. Nafsu makan Pak Edi
hilang seketika. Berganti emosi pagi hari.
Keesokan paginya, Gelandangan
itu masih mendengkur saat Pak Edi membuka toko dan mencium bau pesing, ia
melihat ke bawah.
“Beraninya kamu kencing
di depan tokoku, dasar kurang ajar!” Bentak Pak Edi sambil kakinya menendang punggung Gelandangan
itu.
“Bukan… bukan saya,” kata Gelandangan itu
sambil mengiba dan menggelengkan kepalanya. “Pergi dari sini!” Emosi Pak Edi
tak terbendung, wajahnya merah padam, hidungnya kembang-kempis.
***
Kejadian demi kejadian
yang membuat Pak Edi emosi di pagi hari terus berlangsung setiap hari dan
berlangsung hingga dua minggu.
Keesokan paginya, saat
membuka toko, Pak Edi tak lagi melihat Gelandangan itu. Ia agak kaget. “Kok nggak
ada ya?” Ujar Pak Edi dalam hati. Esok paginya lagi ia juga tak melihat Gelandangan
itu. Hingga berlangsung satu minggu.
Kata tetangga pemilik
toko sembako sebelah, “Kamu mencarinya ya?. Dia sudah lama pergi!”
Pak Edi terdiam. Ia
merasa ada yang hilang dari dirinya. Ia tak tahu apa itu. Kini, setiap hari
setiap ia membuka tokonya, Pak Edi tak lagi menemukan Gelandangan itu. Ia
merasa sepi. Ada rasa penyesalan dan pertanyaan. Kemana orang itu pergi?.
Kenapa aku seperti merasa kehilangan. Padahal ia bukan siapa-siapa.
Tiba-tiba Pak Edi
tersadar saat ia melihat ke atas. CCTV itu, ya benar. Pasti semuanya terekam di
situ. CCTV yang selalu mengawasi 24 jam segala aktivitas yang terjadi di depan
toko. Pak Edi kemudian masuk kedalam
rumah, ia menyalakan komputer. Diputarlah rekaman CCTV. Di layar monitor
tergambar jelas adegan itu. Dimulai dari sejak awal Gelandangan itu datang.
***
Pak Edi melihat
bagaimana Gelandangan yang kurus kering berambut gimbal itu tidur kedinginan di
lantai. Juga bagaimana Gelandangan itu mengusir orang yang ingin mencongkel rolling door toko itu. Rekaman itu terus
diputar dan berlanjut menayangkan adegan Gelandangan itu mengusir orang yang
mengencingi pintu rolling door itu.
Sampai di sini Pak Edi terhenyak, dan mulai teringat bagaimana ia menuduh
dengan kemarahan. Bahkan mencaci maki Gelandangan itu dan memukulinya.
Tak terasa air mata Pak
Edi menetes membasahi tuts keyboard.
Namun matanya tak berhenti manatap layar
monitor. Sejenak ia terpejam, menyesali apa yang telah dilakukannya terhadap Gelandangan
itu. Penyesalan memang selalu datang terlambat.
Rekaman itu terus
berputar menayangkan adegan demi adegan hingga hari ke tiga belas sejak Gelandangan
itu datang. Ia melihat putrinya pulang kuliah, memberikan bungkusan nasi dan
air mineral kepada Gelandangan itu sambil tersenyum. Gelandangan itu pun
tersenyum sambil mengucap terima kasih. Dan di malam sebelum Gelandangan itu
menghilang, saat Gelandangan itu tidur, datang dua orang bersepeda motor.
Mereka berhenti di depan toko, tak terlihat wajahnya sebab mereka masih memakai
helm dan memakai masker.
Mereka mulai
melancarkan aksinya, kelihatannya mereka telah lihai. Kunci dan peralatan untuk
membongkar gembok mereka keluarkan. Rolling
door toko ini di gembok dari dalam. Tak putus asa, mereka terus berusaha
mencongkel, hingga menggunakan gergaji besi. Bila malam hari daerah ini memang
sepi, dan sering terjadi kasus jambret dan pencurian.
Gelandangan yang telah
tertidur itu pun terganggu dengan suara berisik di dekatnya. Ia bangun dan
membentak dua orang itu. Mereka kaget dan marah ada orang yang mengganggu
aksinya. Perkelahian pun terjadi. Gelandangan itu pun marah dan terus melawan.
Namun keadaan memburuk, dua lawan satu. Gelandangan itu dikeroyok.
“Tolooong-tolooong ada
maling!” Gelandangan itu mulai berteriak-teriak.
“Maling-maling!”
“Jangan banyak bacot
lu!” Bogem mentah melayang ke arah pelipis Sang Gelandangan ditambah tendangan
ke arah perut.
Gelandangan itu memang bukan lawan sepadan.
Dengan badan ringkih, mudah saja ia dikalahkan. Terlebih, ia tak punya keahlian
bela diri sedikitpun. Dua orang itu pun mulai
panik, salah seorang dari mereka mengambil pisau lipat dari saku dan langsung
menusuk perut Sang Gelandangan dua kali. Dengan sisa tenaga, Gelandangan itu terus
berteriak.
“Tolooong-tolooong!”
Teriaknya sambil menahan nyeri di perutnya.
Ia tergeletak. Suara
itu kian melemah. Tangannya sempat memegang kaki salah satu dari pencuri itu. Namun
tak ayal lagi, wajah Gelandangan itu menjadi sasaran tendangan. Dua pencuri itu
pun semakin panik setelah mendengar banyak suara orang mendekat.
“Gimana ini men?”
“Kita kabur aja bro!”
“Oke!”
Gelandangan yang
malang. Darah terus mengucur dari lukanya. Wajahnya memucat dan tubuhnya kian lemah.
Orang-orang datang memberikan pertolongan, namun sebelum mereka membawanya ke
Rumah Sakit, Gelandangan itu telah menghembuskan nafas terakhir.
Pak Edi masih menatap
layar monitor. Ia masih terisak-isak. Air matanya semakin deras. Ada sesuatu
yang menyesaki dadanya. Tuts keyboard
semakin basah oleh air mata.
*Cerita ini terinspirasi dari sebuah iklan dari Thailand di Youtube.
Komentar
Posting Komentar