Langsung ke konten utama

NEGERI HALIMUN

Sumber gambar: pixabay.com

Kawanan Zebra berlari di jalanan. Ada pula Gajah, Badak, Serigala, yang memenuhi jalan. Ia   mengucek matanya. Seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Di dalam rumah-rumah pun sama.

“Ini tidak benar, ini hanya mimpi.”
Ia mencubit lengan kemudian menampar pipinya. Terasa sakit.

Kenapa semuanya tiba-tiba berubah dalam sekejap? apa yang terjadi sebenarnya? Berbagai pertanyaan berjejal memenuhi otak dan menuntut jawaban. Tanah yang ia pijak masih normal, tidak berubah menjadi lahar atau padang pasir. Rumah-rumah pun masih tampak seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Tapi ke mana mereka? Ke mana semuanya? Ada apa dengan kota ini. Atau pertanyaannya, apa yang terjadi dengan diriku?


Yuda  melihat dirinya sendiri masih tampak normal setidaknya untuk saat ini. Tangan dan kaki masih utuh. Ia meraba hidung, pipi, kening dan telinga pun masih lengkap. Mulutnya tak berubah moncong anjing atau babi. Atau jangan-jangan saat tidur kepalanya terbentur tembok hingga otaknya korslet. Tapi ia rasa bukan itu alasannya. Ada yang aneh. Pasti sesuatu telah terjadi dengan kota ini. Dengan semua penghuninya. Kemana mereka semua?
**
Yuda berjalan tak tentu arah setelah sebuah kejadian yang tak dimengertinya saat itu. banyak sekali kawanan Gajah dan Badak. Ada juga Kijang, Anjing, Babi, Keledai, Onta dan segala jenis hewan yang ada di kebun binatang tampak dihadapannya. Semakin ia berjalan, ia semakin tak mengerti dengan apa yang ia lihat.

Apakah ras manusia telah punah? Apa mungkin aku satu-satunya manusia yang tersisa di muka bumi ini? Apa mungkin aku ditidurkan oleh Tuhan sekian lama seperti halnya para pemuda dan satu anjingnya beribu tahun silam sehingga kiamat telah lewat dan aku tak menyadarinya, kemudian aku dibangunkan setelah semua orang dibinasakan. Mungkin setelah manusia punah, Tuhan kesepian tapi sudah kapok mencipta manusia lagi. Sehingga Dia hanya menciptakan binatang (lagi) untuk menghibur kesepianNya. Sedangkan Dia lupa padaku, sehingga aku tak masuk hitungan untuk dimatikan. Segala kecamuk pikiran itu membuatnya kian linglung.

Semakin ia mencoba berdialog dengan dirinya sendiri, makin ruwet pikirannya. Bagai benang kusut yang tak mungkin terurai. Ia berjalan gontai tak tentu arah. Lama sekali ia berjalan. Ia sangat berharap ada suara yang memanggilnya. Suara manusia. Namun yang ia dengar justru embikan kambing, lenguhan sapi, terkadang ringkik kuda.

Kota ini menjadi asing baginya. Ia seperti Alien yang datang dari Planet lain. Mungkin di belahan kota yang lain tidak seperti ini. Mungkin. Ia sendiri ragu dengan pendapatnya. Keadaan Yuda seperti adegan dalam film Jumanji. Tapi ini terlalu aneh, tak ada sedikitpun tanda-tanda adanya manusia. Saat itu ia menyadari satu hal. Ia sendirian.

Ia coba mengingat-ingat lagi. Kejadian berhari-hari lalu. Tak ada satupun yang ia ingat. Berbulan-bulan lalu, hasilnya sama. Ia mundur lagi ke belakang, kejadian bertahun-tahun lalu. Sama sekali nihil. Otaknya kosong, ingatannya terhapus sempurna. Seperti sebuah harddisk komputer yang baru diformat.

Hanya satu yang ia ingat, namanya ‘Yuda’. Hanya itu.
“Tuhan, jika Kau mendengarku, jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi? Atau begini saja, Kau ubah saja aku sekalian jadi kucing atau kuda. Mudah saja bukan? Memangnya Kau akan mengangkatku sebagai pengganti Nabi Sulaiman yang mengerti segala bahasa hewan?” Ia mendongak ke langit sambil berteriak merutuki nasibnya. Ia mulai gemas sekaligus jengkel.

Hari beranjak malam. Yuda berhenti berjalan. Di sampingnya ada sebuah bangunan kecil, agaknya itu pos atau gardu. Yuda pun berbelok dan beristirahat di situ. Ia duduk sambil melihat bulan yang bersinar lembut. Air matanya tiba-tiba menetes.  Rasanya sudah lama sekali ia tak pernah menangis. Ia juga lupa, entah kapan.  Entah kenapa ia ingin menangis, ia juga tak tahu alasannya. Mungkin hanya berusaha menghabiskan stok air mata. Air mata kadang lumayan menghibur sebagai teman setia. Sambil menangis, perlahan otot bibirnya meregang. Ia tersenyum, kemudian beralih tertawa terbahak, menertawakan keadaannya. Mungkin ia sudah jadi setengah gila.

Tak lama berselang, ia pun berbaring. Kemudian ia berusaha memejamkan mata, berharap segera terlelap dan ketika ia bangun keesokan paginya, keadaan akan kembali normal seperti sedia kala. Yuda pun jatuh tertidur.
***

Pagi yang terasa sedikit mendung. Namun, di langit tidak ada sedikitpun mendung menggelayut. Yuda pun terbangun, keadaan ternyata masih sama. Semula hatinya dipenuhi harapan, tetapi ketika melihat sekeliling, ia menghembuskan napas panjang. Semangatnya padam. Ia hanya berharap ingin bertemu dengan manusia dan ingatannya kembali. Hanya itu.

Yuda masih juga tak menyadari ada yang aneh dengan keadaan dirinya. Cuaca di kota ini selalu sama. Pagi hingga sore hari, suasananya agak berkabut. Tidak terlampau dingin, tetapi sejuk. Ia juga juga tidak merasa lapar. Kemudian keadaan kota ini, tak ada satupun rumah bergaya modern. Semuanya bangunan rumah kuno seperti pada jaman kerajaan. Tak ada pula mobil, sepeda motor, kereta, apalagi pesawat.

Yuda pun mulai berjalan lagi. Perlahan ia melangkahkan kaki. Angin berembus pelan, hidungnya mencium bau yang menguar di udara. Ada bau rumput bercampur lamat-lamat aroma macam-macam bunga. Wangi yang tidak menyengat yang membuat betah hidungnya menghirup. Semakin banyak ia menghirup udara, entah kenapa tubuhnya semakin bertenaga dan ia merasa kenyang.

Kira-kira dua jam ia berjalan. Kemudian sampailah ia di sebuah jembatan yang terbuat dari kayu, entah cendana atau gaharu. Jembatan itu menguarkan wangi kayu yang khas.

Ia mulai meniti jembatan itu, ekor matanya tiba-tiba menangkap sesuatu. Dari kejauhan ia melihat manusia, ya manusia. Hati Yuda langsung terasa begitu sejuk. Seperti diguyur air dingin, “dahaganya” langsung terobati. Orang itu berjalan ke arah Yuda. Semakin dekat, semakin terlihat jelas orang itu. Seorang kakek dengan dengan kaos oblong putih memakai caping petani dan menggenggam sabit. Saat tiba di depan Yuda, kakek itu menatap Yuda dengan tajam, sorot matanya kelihatan begitu mengintimidasi. Namun, ada percik keteduhan di sana. Kemudian ia berkata: “Lompatlah dari jembatan ini, anak muda. Mandilah di sungai ini.” Kata kakek tua itu, sambil tersenyum lembut kepada Yuda.

Mata Yuda melihat ke bawah. Di bawah jembatan itu terpampang sebuah sungai mungkin lebarnya lebih dari lima puluh meter. Airnya mengalir pelan dan sangat jernih. Agak ngeri juga Yuda melihat sungai di bawah. Beberapa kali ia menelan ludah. Tapi entah kenapa, ia begitu percaya kata-kata orang tua itu. Si kakek diam menunggu. Ia juga melihat keraguan di hati Yuda.

Sebelum melompat, Yuda kembali melihat wajah orang tua itu. Si kakek pun balas menatap Yuda dengan tersenyum lembut sambil mengangguk. Terlihat seperti mempersilakan.

Kemudian terjadilah adegan seseorang terjun bebas mirip Bungee Jumping. Suara Teriakan Yuda kemudian berganti bunyi berdebum sebuah tubuh yang jatuh dari ketinggian dan membentur permukaan air sungai. Dingin sekali air sungai itu dan entah kenapa Yuda sulit sekali untuk berenang. Air sungai seperti membetot tubuhnya, melarangnya untuk bergerak. Semakin ia berusaha meronta, semakin kuat pula air sungai mengunci tubuhnya. Tak lama kemudian, ia pingsan. Tubuh Yuda perlahan terseret arus. Kakek tua berjenggot putih dan memakai caping ala petani itu hanya tersenyum. Kemudian berjalan santai seperti tak pernah terjadi apa-apa. Beberapa langkah ia berjalan, tubuhnya perlahan-lahan mengabur kemudian lenyap tanpa bekas.


Apakah Yuda mati? Atau justru ia “hidup” kembali?

Bersambung ke Part 2

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bukanlah Kau

Bukanlah kau Jika menjadi angan tak tergenggam Serupa embun yang rapuh Atau cahaya yang runtuh Tetes fatamorgana di tengah sahara Bukanlah kau Jika menjadi kilau tak tersentuh Silau cahaya yang menetas di ujung cakrawala Titik putih di rahim samudera

Biola Itu Akhirnya Saya Jual

Ilustrasi: http://jabar.tribunnews.com/2017/06/19/ ingin-coba-main-biola-nih-7-tips-cara-main-biola-untuk-pemula Jadi begini ceritanya, beberapa bulan lalu saya akhirnya membeli sebuah biola. Bukan biola baru sih tapi bekas. Sudah lama sebenarnya saya ingin bisa memainkan biola. Ingin membeli baru, namun selalu saja ada alasan hingga urung membelinya. Hingga saya diajak oleh sepupu berkunjung ke Gresik, tepatnya di desa Bungah, ke rumah temannya sepupu saya. Orang-orang memanggilnya Pak Acil. Kesan ramah dan murah senyum langsung melekat di benak saya ketika bertemu, beliau sudah berumur 50-an. Ternyata beliau adalah pembuat rebana dan kendang.