Kami berpamitan dengan
‘si Mbok’ dan semua keluarga beliau. Usai sehari menginap di rumah beliau. Kami
akan merindukan keramahan dan kesederhanaannya. Pagi itu adalah hari yang
saya tunggu-tunggu. Inilah saatnya kami berburu oksigen yang bersih di lereng
gunung Wilis sebelum kembali ke Surabaya. Kami akan ngadem di Telaga Ngebel.
Sebelum ke sana, kami singgah sebentar untuk berziarah di makam Kyai Hasan Besari,
seorang ulama penyebar agama Islam di kota Ponorogo.
Mobil
pun kembali menyusuri jalanan kota Ponorogo. Dari Kota Lama, kami terus ke Borang
sekitar tiga ratus meter utara Jembatan kembar belok kanan sampai ketemu Jalan
Raya Jenangan. Kami jalan terus hingga pertigaan pasar, lurus sampai ketemu
pertigaan, lurus lagi, nah sampailah kita di jalan Raya Ngebel. Dari situ
sudah dekat lokasi. Bau khas udara pegunungan telah tercium. Kesejukan dan
udara yang bebas polusi mulai saya rasakan. Dan edisi menepi sejenak dari
keramaian kota dimulai. Di sini lah saya sekarang. Telaga Ngebel.
![]() |
sumber : google |
Telaga Ngebel adalah sebuah
danau alami yang terletak di Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo. Kecamatan Ngebel sendiri
terletak di kaki gunung Wilis. Telaga Ngebel terletak sekitar 30 KM dari pusat kota
Ponorogo atau yang terkenal dengan nama Kota Reog. Keliling dari Telaga
Ngebel sekitar 5 KM. Dengan suhu antara 20 - 26 derajat celcius, suhu dingin
nan sejuk membuat pengunjung makin nyaman mengunjungi Telaga Ngebel. Selain
Reog, Telaga Ngebel merupakan salah satu andalan wisata yang dimiliki Kabupaten
Ponorogo. Pemasok air bagi Telaga Ngebel terdiri dari berbagai sumber. Sumber
air yang cukup deras berasal dari Kanal Santen. Selain itu, juga terdapat
sungai yang mengalirinya, di mana dibagian hulu sungai terdapat air terjun yang
diberi nama Air Terjun Toyomarto. (Wikipedia)
Saya tak menyangka, kota Ponorogo
memiliki telaga seindah ini. Seperti jambangan besar yang dikelilingi
bukit-bukit hijau nan subur. Di pinggir telaga, beberapa pohon Trembesi raksasa
yang saya perkirakan usianya tak jauh beda dengan Telaga Ngebel. Kami lesehan
di trotoar dipayungi pohon Trembesi yang kekar tadi. Di seberang jalan,
berjejer warung-warung yang setia menunggu pembeli. Kami memesan kopi dan
camilan gorengan. Tak lupa, aneka buah-buahan yang kaya vitamin seperti
alpukat, nanas dan pisang melengkapi menu sehat kali ini.
Di belakang deretan warung-warung
tadi, banyak rumah-rumah yang terbilang sederhana dijadikan sebagai penginapan
murah. Jika kalian ke sini dan pas libur panjang, kalian bisa mencoba untuk
menginap beberapa hari di sini. Mengisi paru-paru kalian sebanyak-banyaknya
dengan oksigen yang bersih. Memanjakan mata kalian dengan daun-daun hijau yang
terhampar di sekeliling Telaga ini. O ya, selain keindahannya yang dijadikan
sebagai daya tarik wisatawan, mitos atau cerita rakyat tentang asal mula Telaga
ini juga menjadi daya tarik tersendiri.
![]() |
sumber : google |
Sebuah obyek wisata yang di balut
dengan cerita mitos, biasanya menjadikan tempat itu semakin menarik. Tak
terkecuali Telaga Ngebel. Konon dulu ada kisah sepasang suami istri yang
melahirkan anak seekor ular naga yang diberi nama Baru Klinting. Karena malu,
mereka pun mengasingkan diri. Baru Klinting ternyata ingin menjadi manusia.
Sang ayah kemudian berdoa, meminta petunjuk kepada Tuhan untuk mengabulkan
keinginan anaknya. Dan seterusnya… hingga sang anak bisa menjadi manusia.
Mitos atau cerita rakyat memang tak
bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Namun biarpun begitu, sebuah cerita
rakyat bertujuan baik. Mungkin sengaja dibuat agar sebuah tempat atau daerah
tertentu dapat terus lestari dan terjaga eksistensinya. Khususnya Telaga
Ngebel. Telaga ini telah ada ratusan tahun lalu dan masih terjaga keindahannya.
Cuaca yang mendung dan dingin
ditambah dengan sedikit angin membuat saya bolak-balik ke toilet. Disamping
itu, entah kenapa saat berada di sini nafsu makan saya bertambah. Mungkin ini
efek bahagia dan jauh polusi. Selain memiliki panorama yang indah, nuansa
tenang dan damai, telaga ini seperti punya aura magis yang kuat. Entah ini
hanya perasaan saya saja atau ada hal lain, saya tidak tahu. Tapi teman-teman
saya merasakan hal itu juga. Saat melihat ke dalam telaga, rasanya saya kok
ingin nyemplung dan berenang di situ.
Apa mungkin saya saking lamanya nggak pernah main air ya? Bisa jadi mungkin
seperti itu. Sebuah pertanyaan yang saya jawab sendiri. Efek kekenyangan
membuat saya ngelantur. Saya juga membayangkan suatu saat jika ke sini lagi
harus dengan pasangan. Sebab sayang sekali tempat begini indahnya hanya
dikunjungi oleh rombongan jomblo pecinta nikotin.
Gerimis mulai menyapa kami.
Mbak-mbak imut yang jaga warung mempersilakan kami berteduh. Namun kami bertahan,
gerimisnya ternyata cuma lewat. Mas Yudistira seperti biasanya banyak
menceritakan kisah perjalanan hidupnya yang penuh warna. Ia juga berandai-andai
kalau ke sini lagi suatu saat nanti harus menginap katanya. Tak cukup jika
menikmati tempat yang indah hanya sehari. Mungkin seminggu di sini baru puas.
Saya manggut-manggut tanda setuju.
Saking asyiknya saya mendengarkan cerita Mas Yudistira, hingga tak terasa bahwa hari menjelang senja. Bahagia menjadikan waktu begitu
cepat. Matahari pun ingin berpamitan. Meneruskan tugasnya menyinari belahan
bumi yang lain. Usai membayar makanan, kami beranjak menuju mobil. Saya bahkan sudah rindu
sebelum berpisah dengan tempat ini (sok imut). Good
bye Ngebel, see you next time. Otak dan hati ini telah refresh kembali.
Kami siap bertempur lagi dengan
rutinitas dan pekerjaan yang seringkali memusingkan kepala saat pulang nanti.
Kami juga akan mengakrabi lagi macet dan polusi. Kota Bajul Ijo telah menanti. Sejauh-jauh burung terbang, akhirnya
kembali ke sarang. Kami pulang.
#PesonaIndonesia
Mitos yg melahirkan anak ular itu pernah dijadikan teman saya cerpen..
BalasHapusJadi penasaran dengan telaga ngebel..
Mitosnya memang terkenal banget. Saya yakin seru klo dibikin cerpen.
BalasHapusSila berkunjung.