Langsung ke konten utama

Ayahku dan Surat Terakhir

Ilustrasi:Google
Aku tak benar-benar tahu siapa ayahku, hanya selembar foto usang dan sekeping cerita tentangnya dari ibuku. Foto itu pun sekarang agak buram. Warnanya mulai memudar dimakan usia. Dan kepingan cerita tentangnya tak mampu menghilangkan dahagaku. Ketika ibuku bercerita, ada kabut dalam sorot matanya. Kabut yang tak akan pernah bisa lenyap. Tak akan pernah bisa.

Aku mewarisi warna kulit, potongan rambut, dan sedikit bentuk wajah yang mirip dengannya. Hanya itu yang kutahu. Setiap kutatap lekat foto lelaki itu, dadaku bergemuruh. Ribuan pertanyaan menyesaki otakku yang tak pernah kutahu jawabannya hingga saat ini. Bentangan jarak yang begitu jauh dan minimnya informasi tentangnya memaksaku untuk mengakui bahwa jurang kemustahilan itu ada. Ya, sebuah jurang yang menganga. Aku tak punya daya untuk membuat jembatan. Aku masih kalah.



Aku mengenalnya hanya lewat cerita. Selebihnya aku tak tahu. Sebab, sejak aku umur dua tahun ayah dan ibuku berpisah. Ibuku pulang ke Jawa, tepatnya di sebuah desa kecil di Kabupaten Nganjuk. Di desa ini pula tempat kelahiranku. Sejak saat itu, kehidupan ibuku berubah. Beliau menjadi single parent. Namun beberapa kali ayahku masih mengirim uang beserta lembaran surat yang mengabarkan keadaannya. Tiga tahun kemudian, datanglah surat terakhir. Sebuah surat yang mengabarkan duka. Ayahku mulai sakit-sakitan. Surat itu ditulis oleh adiknya yang aku pun lupa namanya. Intinya, dalam surat itu mengatakan bahwa ibuku disuruh bersabar, sebab ayahku tak akan lagi mampu mengirim uang. Dan jangan berharap lagi darinya. 

***
Ilustrasi: Google
Sejauh yang aku tahu, ayahku adalah orang cina berkewarganegaraan Malaysia. Ia seorang pekerja keras yang sangat menghargai bawahannya. Ia menjadi Manager Lapangan di sebuah perusahaan kayu yang berkantor di Jakarta pada saat itu. Namun ia tak berkantor di sana. Sebagai Manager Lapangan, ia bertanggung jawab penuh mengurusi dan mengawasi bawahannya. "Kantornya" pun berpindah-pindah dan pastinya di tengah hutan. Ibuku menyebutnya "Kem kayu", bangunan rumah panggung yang berfungsi sebagai tempat tinggal sementara. Ketika jumlah kayu yang harus ditebang sudah terpenuhi, maka beliau harus pindah tempat lagi. Kebanyakan sih dia ditugaskan di Tarakan atau Bengkulu.

Misalnya pada saat ayahku ditugaskan di hutan Tarakan, maka dia harus membangun Kem untuk seluruh pegawai. Serta harus memastikan bahwa lokasi itu cukup aman dari binatang buas dan terdapat sumber air. Biasanya dia akan bertanya dahulu pada bawahannya yang merupakan penduduk asli daerah itu. Waktu di Tarakan, mayoritas anak buahnya adalah orang-orang keturunan suku Dayak. Anak buahnya ada ratusan orang saat itu. 

Kemudian pada saat menebang kayu besar, harus diadakan ritual terlebih dahulu agar para penebang terhindar dari marabahaya. Ayahku harus ikut masuk ke dalam hutan setiap akan menebang pohon, sebab dialah yang tahu jenis pohon yang akan ditebang. Terkadang di dalam hutan ada pohon yang mirip, baik itu tekstur daunnya atau batang pohonnya, padahal dari jenis pohon yang berbeda. Maka ayah harus menjadi juri dalam hal ini. Ayah sangat hafal berbagai jenis tanaman dan pohon di dalam hutan. Aku juga tak tahu, mungkin dia dulu pernah kuliah Botani. 

Saat ibuku pulang ke Jawa, umurku satu tahun. Pada saat itu ayah masih dua kali menjengukku dan ibuku diberi banyak uang. Oleh Ibu, uang tersebut dibelikan sawah dan perhiasan. Kemudian saat umurku menginjak empat tahun dan ibuku mengandung adikku, saat itulah surat terakhir itu datang. Babak baru dalam kehidupan ibuku dimulai. Sedikit demi sedikit kesusahan itu datang. Perlahan tapi pasti sawah dan perhiasan itu mulai dijual untuk menghidupi keluarga. Apalagi ibuku anak pertama dengan enam adik, otomatis beliaulah yang menjadi tulang punggung. Kakekku mulai ringkih, tubuhnya digerogoti TBC. Ibu lah yang harus banting tulang dan memberi harapan.

Lantas di mana surat itu? apakah masih ada? surat itu ada di rumah dan masih ada sampai sekarang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NYEKAR DI MAKAM SIMBAH

Pagi ini sehabis subuh. Aku dan kakak sepupuku sepakat untuk berangkat ke Nganjuk. Kami ingin nyekar/ berziarah ke Makam simbah. Harusnya kemarin aku pulang, tetapi tidak jadi. Maka, pagi inilah rencanaku berhasil kuubah menjadi kenyataan.  Makam desa ini tanahnya becek sepertinya sisa hujan kemarin. Banyak daun-daun trembesi yang gugur mengotori permukaan tanah makam. Petugas makam mungkin lupa membersihkan atau memang sengaja dibiarkan agar anak cucu Sohibul makam lebih peduli dan punya inisiatif untuk menyapu dan memungut dedaunan itu.  Hari ini, sehari menjelang Ramadan. Banyak orang membawa tas kresek berisi bunga tabur. Rasanya memang tidak lengkap jika sowan dengan tangan kosong. Orang-orang sibuk berdoa, melanjutkan harapan-harapan baik untuk sanak keluarga yang sudah lebih dulu "pulang" ke kampung asal. Alam ruh, barzah.  Simbahku telah lama berpulang. Mungkin "di sana" beliau juga sedang bersiap menyambut datangnya ramadan. Bulan dilipatgandakannya segala ...

NEGERI HALIMUN

Sumber gambar: pixabay.com Kawanan Zebra berlari di jalanan. Ada pula Gajah, Badak, Serigala, yang memenuhi jalan. Ia    mengucek matanya. Seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Di dalam rumah-rumah pun sama. “Ini tidak benar, ini hanya mimpi.” Ia mencubit lengan kemudian menampar pipinya. Terasa sakit. Kenapa semuanya tiba-tiba berubah dalam sekejap? apa yang terjadi sebenarnya? Berbagai pertanyaa n berjejal memenuhi otak dan menuntut jawaban. Tanah yang ia pijak masih normal , tidak berubah menjadi lahar atau padang pasir. Rumah-rumah pun masih tampak seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Tapi ke mana mereka? Ke mana semuanya? Ada apa dengan kota ini. Atau pertanyaannya, apa yang terjadi dengan diriku?

PANDEMI PERGI, KAMI BERANGKAT

Hidup adalah perjalanan, maka sering-seringlah berjalan. Melangkahkan kaki, melihat dunia. Kemudian ukuran perjalanan, bukanlah seberapa jauh jarak yang kita tempuh. Melainkan seberapa banyak pelajaran dan hikmah yang kita dapat. Kemudian dengan itu, dapat merubah cara pandang kita menjadi lebih baik dan lebih luas. Melihat sawah di belakang rumah, berkunjung ke pasar, berziarah ke makam juga merupakan sebuah perjalanan. Tak perlu tergesa berpikir terlalu jauh untuk piknik ke luar negeri dan menjadi turis—meskipun ini juga menjadi cita-cita saya. Mulai saja dari yang dekat. Seratus meter, dua ratus meter dari rumah untuk mengenal keadaan sekitar, menggerakkan badan dan pikiran. Sebab, salah satu esensi sebuah perjalanan adalah bergerak, ‘membaca’ dan mengenal. Melihat dan mendengar. Kita belajar. Tholabul ilmi. Kita belajar dari mana saja. Dari apa yang kita lihat, dengar dan rasakan. Dan alam yang luas ini, salah satu guru terbaik. Alam takambang menjadi guru, kata salah satu pepatah...