Langsung ke konten utama

PANDEMI PERGI, KAMI BERANGKAT


Hidup adalah perjalanan, maka sering-seringlah berjalan. Melangkahkan kaki, melihat dunia. Kemudian ukuran perjalanan, bukanlah seberapa jauh jarak yang kita tempuh. Melainkan seberapa banyak pelajaran dan hikmah yang kita dapat. Kemudian dengan itu, dapat merubah cara pandang kita menjadi lebih baik dan lebih luas.

Melihat sawah di belakang rumah, berkunjung ke pasar, berziarah ke makam juga merupakan sebuah perjalanan. Tak perlu tergesa berpikir terlalu jauh untuk piknik ke luar negeri dan menjadi turis—meskipun ini juga menjadi cita-cita saya. Mulai saja dari yang dekat. Seratus meter, dua ratus meter dari rumah untuk mengenal keadaan sekitar, menggerakkan badan dan pikiran. Sebab, salah satu esensi sebuah perjalanan adalah bergerak, ‘membaca’ dan mengenal. Melihat dan mendengar. Kita belajar. Tholabul ilmi.

Kita belajar dari mana saja. Dari apa yang kita lihat, dengar dan rasakan. Dan alam yang luas ini, salah satu guru terbaik. Alam takambang menjadi guru, kata salah satu pepatah terkenal Minangkabau yang berarti alam yang terhampar luas ini adalah sumber belajar yang sesungguhnya dan dapat memenuhi kebutuhan yang sifatnya selalu ada sepanjang zaman.

Dan salah satu tempat di alam ini yang saya sukai adalah pegunungan. Berjalan menyusuri pegunungan yang sejuk dengan beramai-ramai menjadi kebahagiaan tersendiri. Apalagi hampir dua tahun ini, dunia babak belur dihajar virus korona. Segala aktivitas kemudian dibatasi. Kita dipaksa untuk berdiam diri, membatasi diri untuk tidak berkerumun dan tidak berkegiatan di luar rumah.

Namun, kini sepertinya keadaan sudah mulai kembali normal. Korona telah pergi atau ia sebenarnya justru akrab dengan kita. Kita tak pernah tahu. Mungkin saja, ia berada di sekeliling kita tanpa kita sadari. Entah karena imunitas ini telah terbentuk atau oleh sebab  yang lain, sehingga kita menjadi kebal.

Yang jelas, sirine ambulans di jalan sudah jarang terdengar dan rumah sakit pun sudah mulai longgar. Tidak penuh sesak seperti kemarin-kemarin. Dunia mulai pulih. Semoga seterusnya.

**


Seperti burung yang telah lama berada di dalam sangkar, kemudian tiba-tiba pintu sangkar itu dibuka. burung itu pun mengepakkan sayap dan terbang bebas dengan riang. Saya membayangkan, seperti itulah keadaan kami. Kami rindu piknik, kami rindu gelak tawa tanpa memakai masker, kami rindu udara dingin di gunung, pun api unggun. Dan kesempatan itu tiba.

Sabtu, 30-31 Oktober. FLP Surabaya mengadakan Rekreasi Menulis di Alam Sari, Puthuk Panggang Welut, Pacet, Mojokerto. Pertama kali mendengar nama tempat ini, saya berpikir akan banyak penjaja masakan welut panggang di sana. Senang sekali rasanya saya bisa ikut acara ini. Kami akan kemping di tengah hutan pinus. Saya sudah membayangkan keadaan yang dingin, hening dan sepi dengan diiringi nyanyian suara jangkrik. Ternyata saya salah.

Ketika mobil Elf kami memasuki pintu gerbang, sudah berjajar mobil-mobil yang terparkir rapi. Parkiran penuh sesak. Ratusan tenda sudah menghiasi tempat ini. Ratusan pula orang-orang berkumpul dengan tujuan yang sama dengan kami. Haha… imajinasi saya seketika buyar. Angan-angan saya sontak ambyar. Ya, ketakterdugaan adalah seni dalam perjalanan—saya kemudian menghibur diri dengan kalimat tersebut. Kalimat yang ternyata lumayan sakti.

Saya tiba dengan rombongan kedua. Turun dari mobil, barisan pohon-pohon pinus nan tegak menjulang menyambut saya. Pandangan mata saya tertuju pada deretan tenda warna-warni yang jaraknya berdekatan. Tiap lokasi tenda kelompok, dibatasi oleh tali rafia yang di lilitkan di pohon pinus. Ada nomor petak tenda kelompok yang terpatri di pohon. Kelompok kami, FLP Surabaya, berada di petak nomor enam. Sepuluh tenda telah terpasang. Saya melihat di grup WA, ketika masih dalam perjalanan, kawan-kawan kloter pertama saat itu sedang berjibaku mendirikan tenda di tengah hujan deras. “Terima kasih kawan-kawan, kalian hebat!”

Pertama kali yang saya lakukan ketika sampai di lokasi hutan pinus adalah, menghirup napas panjang untuk mengisi paru-paru ini dengan oksigen nan bersih. Rasanya menyenangkan. Setelah itu saya mandi, tak sabar rasanya ingin mengguyur badan ini dengan air pegunungan. Dan nyess! Dinginnya luar biasa. Tetapi yang tak mengenakkan,  Justru telinga saya, terkena polusi suara. Padahal kami ke sini ingin menyepi dan mengakrabi suara alam. Entah itu suara jangkrik atau gemercik air.

Dentuman suara dari speaker di sebelah tempat parkir, membuyarkan itu semua. Kuping saya protes (saya pengen misuh sebenarnya). Apalagi sang biduan di panggung menyanyikan lagu campur sari dengan iringan musik koplo. Bayangkan saja, di gunung, tengah hutan pinus, malam hari jedag-jedug lagu campur sari, plus biduan yang dikerubuti orang-orang lagi nyawer. Mbok yo cari tempat lain po’o. Duh…

Batin ini mendongkol.

**

Api unggun berkobar, menghangatkan area sekeliling tenda. Saya melihat ada jagung di dekat api unggun. “Untuk dibakar kah, saya bantu, ya?” Tanya saya tiba-tiba.

“Iya, mas. Boleh.” Sahut mbak Nurul, kalem. Rupanya ia yang membawa jagung-jagung ini.

Jadilah saya dibantu mas Fathan, jadi tukang bakar jagung dadakan. Setidaknya butuh bambu seukuran jari sebagai tusuk jagung. Akhirnya, setelah celingak-celinguk mencari, dan hasilnya nihil, apa boleh buat, tak ada bambu, tusuk sate pun jadi.

“Diolesi mentega, mas!” celetuk Mbak Dina. “Oh, siap. Ning!” jawab saya, bersemangat.  Berhubung saya sudah lama tak pernah bakar jagung, jadinya ada yang sampai gosong. Ada juga yang setengah matang. Haha… malang sekali nasibmu, jagung.

Usai salat isya (masih diiringi musik sawer tadi), kami mengadakan permainan. Truth or dare, kata mbak Lathifah selaku ketua panitia dan MC. Permainannya sederhana, musik dari hape akan di mainkan, kemudian ada botol yang akan dipegang peserta secara bergiliran, botol akan terus berjalan selama musik masih terdengar. Nah, ketika lagu di pause dan botol pun akan berhenti. Orang yang memegang botol itulah yang akan kena hukuman, hukumannya adalah truth (katakan sebenarnya) atau dare (menampilkan sesuatu, boleh nyanyi atau hal lain). Dan Mas Capung pun kena. Beruntung sekali. Hehe…

Mas Capung kemudian memilih truth, ia bersedia untuk ditanya apa saja dan harus menjawab jujur. “Seandainya Mas Cap punya kemampuan bisa menghilang, apa yang akan Mas Cap lakukan?” Kira-kira seperti itulah pertanyaan yang diajukan mbak Lathifah. Mas Capung terlihat berpikir sambil tersenyum. “Pulang kantor cepet! Haha…” jawab Mas Capung sekenanya, yang disambut tawa dan tepuk tangan teman-teman.

Bersambung...
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bukanlah Kau

Bukanlah kau Jika menjadi angan tak tergenggam Serupa embun yang rapuh Atau cahaya yang runtuh Tetes fatamorgana di tengah sahara Bukanlah kau Jika menjadi kilau tak tersentuh Silau cahaya yang menetas di ujung cakrawala Titik putih di rahim samudera

Biola Itu Akhirnya Saya Jual

Ilustrasi: http://jabar.tribunnews.com/2017/06/19/ ingin-coba-main-biola-nih-7-tips-cara-main-biola-untuk-pemula Jadi begini ceritanya, beberapa bulan lalu saya akhirnya membeli sebuah biola. Bukan biola baru sih tapi bekas. Sudah lama sebenarnya saya ingin bisa memainkan biola. Ingin membeli baru, namun selalu saja ada alasan hingga urung membelinya. Hingga saya diajak oleh sepupu berkunjung ke Gresik, tepatnya di desa Bungah, ke rumah temannya sepupu saya. Orang-orang memanggilnya Pak Acil. Kesan ramah dan murah senyum langsung melekat di benak saya ketika bertemu, beliau sudah berumur 50-an. Ternyata beliau adalah pembuat rebana dan kendang.

NEGERI HALIMUN

Sumber gambar: pixabay.com Kawanan Zebra berlari di jalanan. Ada pula Gajah, Badak, Serigala, yang memenuhi jalan. Ia    mengucek matanya. Seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Di dalam rumah-rumah pun sama. “Ini tidak benar, ini hanya mimpi.” Ia mencubit lengan kemudian menampar pipinya. Terasa sakit. Kenapa semuanya tiba-tiba berubah dalam sekejap? apa yang terjadi sebenarnya? Berbagai pertanyaa n berjejal memenuhi otak dan menuntut jawaban. Tanah yang ia pijak masih normal , tidak berubah menjadi lahar atau padang pasir. Rumah-rumah pun masih tampak seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Tapi ke mana mereka? Ke mana semuanya? Ada apa dengan kota ini. Atau pertanyaannya, apa yang terjadi dengan diriku?