Langsung ke konten utama

Simbok di Pasar

ilustrasi: google
Pagi menjelang. Embun masih enggan mengering dari dedaunan. Matahari masih belum menampakkan sinarnya. Seorang Ibu yang sudah sepuh menggendong rinjing (keranjang bambu) memasuki pasar untuk menggelar dagangannya.

Disertai doa dan harapan agar banyak yg membeli barang dagangannya hari ini. Dari raut wajahnya, menunjukkan ketegaran hati, rasa optimisme dan semangat juang yg gigih dalam mencari nafkah.

Dagangannya berupa sayur-sayuran.
Ada jagung, sawi, kangkung, tomat, dan cabe juga pisang kepok. Ia gelar tikar. Satu persatu sayur mayur ia keluarkan dari rinjing. Ia tata rapi di atas tikar. Saya pun berjalan mendekati beliau.
"Mbok, pisang kepok'e setunggal cengkeh pintenan?" Tanya saya seraya memilih pisang kepok.
"Sepuluh ewu nak," jawab Simbok.
Sembari memilih, saya ajak beliau ngobrol.
"Rumahnya mana mbok?"
"Saya aslinya Babat Lamongan."
"Wis suwe mbok jualan dipasar sini?"
"O yo wis lumayan suwe,  hampir sepuluh tahun."
"Sudah lumayan lama juga ya mbok?"
"Iya nak."

"Kesini tiap hari mbok?"
"Endak, saya seminggu tiga kali kesini nak, numpak Kereto Komuter mudun Stasiun Benowo, terus ke sini jalan kaki."
"Nuwun sewu nggih mbok, njenengan mpun sepuh kok  tasik dodolan mawon?"
"Lha awake isih kuat'e, tinimbang nganggur ning omah yo malah loro kabeh awakku. Sak jane yo ora oleh karo anakku. Aku dikongkon leren."
"Gitu ya mbok?"
"Iyo."
"Yowis Mbok, ini saya beli dua cengkeh pisang kepoknya."
Tangan beliau cekatan memasukkan pisang kepok ke dalam tas kresek.
"Matur nuwun yo nak?" ucap beliau sambil tersenyum memperlihatkan gigi depannya yang sudah tak genap lagi, kemudian mengulurkan tangan menyerahkan tas kresek yang telah berisi pisang.
Saya pun menyerahkan uang dua puluh ribuan.
"Nggih sami-sami mbok." Jawab saya.

Saya pun berjalan ke dalam Pasar membeli keperluan yg lain. Matahari mulai menampakkan sinarnya. Suasana pagi yang cerah. Secerah wajah simbok yang baru saja laku dagangannya. Meski baru mendapat uang dua puluh ribu, kecerahan wajah tuanya menunjukkan rasa syukur yang begitu mendalam.

Bahwa berapapun hasil yang di dapat, jika disertai rasa syukur, akan terasa lebih nikmat. Saya juga belajar semangat pantang menyerah terhadap keadaan sesulit apapun dari beliau. Di usia senjanya, ia tetap semangat bekerja tanpa harus meminta-minta. Dalam hati saya merasa malu. Saya membandingkan keadaan diri saya dengan beliau. Seringkali saya gampang menyerah dan berkeluh kesah. Banyak sekali nikmat Tuhan yang belum saya syukuri.

Salah satu ciri bersyukur adalah memaksimalkan potensi yang ada pada diri kita agar beroleh manfaat. Terlebih bermanfaat bagi sesama.

Setelah selesai belanja keperluan warung, saya pun beranjak pulang. Karcis parkir sepeda motor dan uang dua ribu saya serahkan pada petugas parkir sambil mengucap terima kasih.

Dalam perjalanan pulang, masih terlintas wajah simbok yang cerah dan penuh rasa syukur.

*Tulisan lima tahun lalu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bukanlah Kau

Bukanlah kau Jika menjadi angan tak tergenggam Serupa embun yang rapuh Atau cahaya yang runtuh Tetes fatamorgana di tengah sahara Bukanlah kau Jika menjadi kilau tak tersentuh Silau cahaya yang menetas di ujung cakrawala Titik putih di rahim samudera

Biola Itu Akhirnya Saya Jual

Ilustrasi: http://jabar.tribunnews.com/2017/06/19/ ingin-coba-main-biola-nih-7-tips-cara-main-biola-untuk-pemula Jadi begini ceritanya, beberapa bulan lalu saya akhirnya membeli sebuah biola. Bukan biola baru sih tapi bekas. Sudah lama sebenarnya saya ingin bisa memainkan biola. Ingin membeli baru, namun selalu saja ada alasan hingga urung membelinya. Hingga saya diajak oleh sepupu berkunjung ke Gresik, tepatnya di desa Bungah, ke rumah temannya sepupu saya. Orang-orang memanggilnya Pak Acil. Kesan ramah dan murah senyum langsung melekat di benak saya ketika bertemu, beliau sudah berumur 50-an. Ternyata beliau adalah pembuat rebana dan kendang.

NEGERI HALIMUN

Sumber gambar: pixabay.com Kawanan Zebra berlari di jalanan. Ada pula Gajah, Badak, Serigala, yang memenuhi jalan. Ia    mengucek matanya. Seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Di dalam rumah-rumah pun sama. “Ini tidak benar, ini hanya mimpi.” Ia mencubit lengan kemudian menampar pipinya. Terasa sakit. Kenapa semuanya tiba-tiba berubah dalam sekejap? apa yang terjadi sebenarnya? Berbagai pertanyaa n berjejal memenuhi otak dan menuntut jawaban. Tanah yang ia pijak masih normal , tidak berubah menjadi lahar atau padang pasir. Rumah-rumah pun masih tampak seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Tapi ke mana mereka? Ke mana semuanya? Ada apa dengan kota ini. Atau pertanyaannya, apa yang terjadi dengan diriku?