Langsung ke konten utama

Manusia Cahaya

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya. (Al-Hadits)

Orang yang telah selesai dengan dirinya adalah orang yang mendedikasikan seluruh sisa hidupnya untuk orang lain dan alam sekitarnya. Mereka tidak lagi punya pamrih yang bersifat duniawi seperti materi, jabatan, kepopuleran, dsb. Mereka nothing to lose tanpa berharap apa-apa dalam menjalani segala aktivitas kesehariannya. Jumlah mereka sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah manusia pada umumnya. Merekalah Manusia-Manusia Cahaya.

Dalam bahasa Agama, ada orang-orang khusus atau para Wali (kekasih) Tuhan di muka bumi ini. Kehadiran mereka jauh lebih bermanfaat dibandingkan kehadiran kita. Mereka adalah wakil Tuhan (Khalifah) sesungguhnya di muka bumi ini. Saya tidak sanggup membayangkan apa jadinya kehidupan ini  jika tanpa kehadiran mereka.


Saya teringat beberapa tahun yang lalu. Saya pernah belajar seni beladiri silat Perisai Diri. Dalam logo atau lambang Perisai Diri ada gambar manusia putih tanpa wajah yang sekujur badannya bercahaya. Duduk bersila di dalam  tiga kelopak bunga warna-warni. Sungguh, lambang yang sarat makna. Menurut yang saya pahami, lambang tersebut menggambarkan sebuah pencapaian atas nilai-nilai luhur kehidupan. Bahwa, ketika manusia telah mencapai puncak pemahaman atas dirinya sendiri, maka kilauan cahaya akan menyelubungi seluruh tubuhnya dan berpendar. Sehingga dia dapat menerangi orang-orang di sekitarnya. Dan tercerahkan oleh kehadirannya. Tutur katanya mengandung hikmah dan solusi atas segala problematika kehidupan. Sikap dan tingkah lakunya mengandung teladan. Orang-orang inilah contoh sempurna yang dapat membuat kita sempurna sebagai manusia.

Ketika orang-orang ini mendapat predikat sebagai Manusia Cahaya, maka kedudukannya lebih tinggi dari Malaikat. Sudah sewajarnya kalau Malaikat mendapat derajat yang tinggi disisi Tuhan. Sebab dari segi penciptaannya, Malaikat hanya diberi akal dan tidak memiliki nafsu. Maka ia menjadi makhluk yang paling taat. Beda dengan manusia yang memiliki keduanya yaitu akal dan  nafsu yang senantiasa berebut pengaruh di dalam diri manusia. Jika nafsunya yang menang maka ia terjatuh dan menjadi lebih hina dari binatang. Sebaliknya jika akalnya yang menang, maka ia menjadi lebih mulia dari Malaikat. Saya ibaratkan seperti ini, manusia yang asal muasal penciptaannya dari tanah yang gelap, kemudian ia menjadi tanah yang “bercahaya”.

Asas kebermanfaatan bagi sesama menjadi fokus utama mereka. Semangat menebarkan cinta-kasih dan mengajak sebanyak-banyaknya manusia untuk berbuat baik menjadi semacam “tugas” dari Tuhan untuk mereka. Sungguh beruntung jika kita dapat bertemu dengan salah satu dari “Manusia Cahaya” dan memandang wajahnya. Apalagi dapat sedikit belajar darinya. Saya rasa itu menjadi kunci kebahagiaaan kita. Saya meyakini bahwa segala macam kesusahan tidak mampu menjangkau mereka. Seberat dan sebesar apapun masalah dan kesusahan yang datang kepada mereka, tidak mampu menggoyahkan hatinya. Ketenangan mereka jauh lebih besar dan lebih tinggi daripada masalah yang datang.

“Orang yang telah selesai dengan dirinya adalah Manusia Cahaya. Mereka akan terus bercahaya dimanapun mereka berada.”

Juni 2015
Sutamas

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NYEKAR DI MAKAM SIMBAH

Pagi ini sehabis subuh. Aku dan kakak sepupuku sepakat untuk berangkat ke Nganjuk. Kami ingin nyekar/ berziarah ke Makam simbah. Harusnya kemarin aku pulang, tetapi tidak jadi. Maka, pagi inilah rencanaku berhasil kuubah menjadi kenyataan.  Makam desa ini tanahnya becek sepertinya sisa hujan kemarin. Banyak daun-daun trembesi yang gugur mengotori permukaan tanah makam. Petugas makam mungkin lupa membersihkan atau memang sengaja dibiarkan agar anak cucu Sohibul makam lebih peduli dan punya inisiatif untuk menyapu dan memungut dedaunan itu.  Hari ini, sehari menjelang Ramadan. Banyak orang membawa tas kresek berisi bunga tabur. Rasanya memang tidak lengkap jika sowan dengan tangan kosong. Orang-orang sibuk berdoa, melanjutkan harapan-harapan baik untuk sanak keluarga yang sudah lebih dulu "pulang" ke kampung asal. Alam ruh, barzah.  Simbahku telah lama berpulang. Mungkin "di sana" beliau juga sedang bersiap menyambut datangnya ramadan. Bulan dilipatgandakannya segala ...

NEGERI HALIMUN

Sumber gambar: pixabay.com Kawanan Zebra berlari di jalanan. Ada pula Gajah, Badak, Serigala, yang memenuhi jalan. Ia    mengucek matanya. Seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Di dalam rumah-rumah pun sama. “Ini tidak benar, ini hanya mimpi.” Ia mencubit lengan kemudian menampar pipinya. Terasa sakit. Kenapa semuanya tiba-tiba berubah dalam sekejap? apa yang terjadi sebenarnya? Berbagai pertanyaa n berjejal memenuhi otak dan menuntut jawaban. Tanah yang ia pijak masih normal , tidak berubah menjadi lahar atau padang pasir. Rumah-rumah pun masih tampak seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Tapi ke mana mereka? Ke mana semuanya? Ada apa dengan kota ini. Atau pertanyaannya, apa yang terjadi dengan diriku?

PANDEMI PERGI, KAMI BERANGKAT

Hidup adalah perjalanan, maka sering-seringlah berjalan. Melangkahkan kaki, melihat dunia. Kemudian ukuran perjalanan, bukanlah seberapa jauh jarak yang kita tempuh. Melainkan seberapa banyak pelajaran dan hikmah yang kita dapat. Kemudian dengan itu, dapat merubah cara pandang kita menjadi lebih baik dan lebih luas. Melihat sawah di belakang rumah, berkunjung ke pasar, berziarah ke makam juga merupakan sebuah perjalanan. Tak perlu tergesa berpikir terlalu jauh untuk piknik ke luar negeri dan menjadi turis—meskipun ini juga menjadi cita-cita saya. Mulai saja dari yang dekat. Seratus meter, dua ratus meter dari rumah untuk mengenal keadaan sekitar, menggerakkan badan dan pikiran. Sebab, salah satu esensi sebuah perjalanan adalah bergerak, ‘membaca’ dan mengenal. Melihat dan mendengar. Kita belajar. Tholabul ilmi. Kita belajar dari mana saja. Dari apa yang kita lihat, dengar dan rasakan. Dan alam yang luas ini, salah satu guru terbaik. Alam takambang menjadi guru, kata salah satu pepatah...