Langsung ke konten utama

Dik Pion

Sumber : google
Akhir-akhir ini saya setiap hari melihat orang bermain catur. Cukup menghibur menurut saya. Daripada bengong mikir nasib yang tak kunjung berubah.
Terkadang untuk menambah semangat, sampai-sampai diadakanlah taruhan sebungkus rokok plus segelas kopi. Kalaupun disebut judi, mungkin tergolong judi yang dimaafkan hehe...
Toh, rokoknya juga disedot bareng-bareng. Apalagi kopinya, juga diseruput berjamaah. Tapi tetap sportif dong, yang kalah harus bayar.


Kembali ke permainan catur itu sendiri. Catur adalah permainan olah pikiran, entahlah kenapa bisa masuk kategori olahraga? Tapi yang jelas catur adalah permainan yang menarik. Setiap buah dalam catur memiliki peranannya masing-masing. Seperti susunan atau struktur dalam sebuah kerajaan, semua menempati posisinya sesuai dengan keahlian dan fungsinya. 

Saya ingin 'ngrasani' si kecil yang namanya pion. Yaitu prajurit dengan pangkat terendah alias kopral. Si pion ini menurut saya unik dan imut (kayak saya hehe...) perawakannya kecil dan jumlahnya paling banyak. Bisa juga diibaratkan rakyat jelata atau strata terbawah dalam lapisan masyarakat.

Pion (dari bahasa Belanda, pion) adalah salah satu dari enam bidak catur.

Pion hanya bisa berjalan selangkah ke depan, yang berarti ke arah barisan lawan, dan tidak menyerang bidak lawan dalam arah ini. Dalam langkah pertama, pion dapat maju  dua kotak dan tidak ada yang menghambat jalan ini. Untuk memakan, pion harus mengambil arah diagonal sekali.

Pada tahun 1700-an, pecatur Prancis Andre Philidor menyebut pion sebagai 'jiwa permainan catur'. Ia menyadari bahwa meskipun pion memiliki kemampuan terbatas, pion sering dapat menentukan sifat dan hasil permainan.

Pion juga memiliki kemampuan promosi. Bila ia dapat mencapai baris terakhir dari lawan, maka ia dapat berubah sesuai yang diinginkan oleh pemain. 

Itulah si pion. Walaupun kecil dan gerakannya lambat hanya satu langkah, kecuali langkah pertama, ia bisa melangkah dua kotak. Pernah saya tanya dia, "Kamu apa nggak menyesal jadi pion, udah kecil dan sering dikorbankan pertama kali. Apa kamu nggak ingin protes tho dik pion?." Tanya saya waktu itu, saat si pion saya ajak ngopi di warung pojok. 

"Yaa mau gimana lagi mas, sudah nasib ee. Disyukuri 'mawon' lah. Kalau protes nanti saya dianggap nggak tahu diri. Dijalani saja sambil minum kopi. Toh, hidup ini kan hanya panggung sandiwara mas, Kata om Ahmad Albar. Yang penting kita itu sadar diri dan senantiasa belajar. Jangan menganggap diri kita itu benar kalau memang salah. Terus jangan menganggap diri kita itu pintar walaupun mungkin sudah cerdas. Terus lagi kalau memang butuhnya satu ya jangan ambil dua, 'ojo cerongohan' kata orang Jawa. Jangan Serakah. Secukupnya saja. Setiap orang itu diberi kelebihan dan kekurangannya masing-masing, tinggal bagaimana kita menyikapi itu sebagai sebuah anugerah. Memang begitulah hidup ini, tidak ada yang sempurna. Terusnya lagi, ngomong-ngomong saya kok lapar e mas." Jawab si pion serius sambil nyedot rokok saya.

Saya terbengong dan melongo mendengar jawaban dari si pion ini. Pertanyaan saya yang pendek saja kok dijawab panjang amat kayak rel sepur. Saya seperti berhadapan dengan dosen filsafat yang lagi nyamar. Saya jadi berpikir mungkin si pion ini dulu pernah kuliah dan diajar sama mbah Semar.

"O lapar tho?, ya udah berhenti dulu ngomongnya. Kita makan dulu dik pion. Saya traktir." Jawab saya sekenanya. 

Ia kemudian saya ajak makan bareng. Wajahnya sumringah. Saya pesan nasi soto. Sementara si pion pesan nasi goreng langsung tiga porsi.

"Ini orang kelaparan apa 'nggrangsang' tho yo. Kecil-kecil makannya banyak banget." Kata saya dalam hati.

"Sampean ini nraktir, ikhlas apa ndak tho mas? Kok 'nggrundel' di hati. Terserah aku lah, mau makan tiga piring atau sepuluh piring sekalian. Kan sampean yang nraktir." Jawabnya ketus.

"Mati aku, lha kok ngerti dia kalo aku bisik-bisik dalam hati. Dik pion ini sebenarnya sopo sih?" tanya saya.

"Yo embuh, sampean nggak perlu tahu aku siapa, yang penting aku tahu siapa sampean."

Usai membayar makanan. Saya langsung pamit pulang sama si pion. Saya malu bercampur merinding. "Jangan-jangan, dia ..."

Sumber: sebagian paragraf saya comot dari wikipedia. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

NYEKAR DI MAKAM SIMBAH

Pagi ini sehabis subuh. Aku dan kakak sepupuku sepakat untuk berangkat ke Nganjuk. Kami ingin nyekar/ berziarah ke Makam simbah. Harusnya kemarin aku pulang, tetapi tidak jadi. Maka, pagi inilah rencanaku berhasil kuubah menjadi kenyataan.  Makam desa ini tanahnya becek sepertinya sisa hujan kemarin. Banyak daun-daun trembesi yang gugur mengotori permukaan tanah makam. Petugas makam mungkin lupa membersihkan atau memang sengaja dibiarkan agar anak cucu Sohibul makam lebih peduli dan punya inisiatif untuk menyapu dan memungut dedaunan itu.  Hari ini, sehari menjelang Ramadan. Banyak orang membawa tas kresek berisi bunga tabur. Rasanya memang tidak lengkap jika sowan dengan tangan kosong. Orang-orang sibuk berdoa, melanjutkan harapan-harapan baik untuk sanak keluarga yang sudah lebih dulu "pulang" ke kampung asal. Alam ruh, barzah.  Simbahku telah lama berpulang. Mungkin "di sana" beliau juga sedang bersiap menyambut datangnya ramadan. Bulan dilipatgandakannya segala ...

NEGERI HALIMUN

Sumber gambar: pixabay.com Kawanan Zebra berlari di jalanan. Ada pula Gajah, Badak, Serigala, yang memenuhi jalan. Ia    mengucek matanya. Seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Di dalam rumah-rumah pun sama. “Ini tidak benar, ini hanya mimpi.” Ia mencubit lengan kemudian menampar pipinya. Terasa sakit. Kenapa semuanya tiba-tiba berubah dalam sekejap? apa yang terjadi sebenarnya? Berbagai pertanyaa n berjejal memenuhi otak dan menuntut jawaban. Tanah yang ia pijak masih normal , tidak berubah menjadi lahar atau padang pasir. Rumah-rumah pun masih tampak seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Tapi ke mana mereka? Ke mana semuanya? Ada apa dengan kota ini. Atau pertanyaannya, apa yang terjadi dengan diriku?

PANDEMI PERGI, KAMI BERANGKAT

Hidup adalah perjalanan, maka sering-seringlah berjalan. Melangkahkan kaki, melihat dunia. Kemudian ukuran perjalanan, bukanlah seberapa jauh jarak yang kita tempuh. Melainkan seberapa banyak pelajaran dan hikmah yang kita dapat. Kemudian dengan itu, dapat merubah cara pandang kita menjadi lebih baik dan lebih luas. Melihat sawah di belakang rumah, berkunjung ke pasar, berziarah ke makam juga merupakan sebuah perjalanan. Tak perlu tergesa berpikir terlalu jauh untuk piknik ke luar negeri dan menjadi turis—meskipun ini juga menjadi cita-cita saya. Mulai saja dari yang dekat. Seratus meter, dua ratus meter dari rumah untuk mengenal keadaan sekitar, menggerakkan badan dan pikiran. Sebab, salah satu esensi sebuah perjalanan adalah bergerak, ‘membaca’ dan mengenal. Melihat dan mendengar. Kita belajar. Tholabul ilmi. Kita belajar dari mana saja. Dari apa yang kita lihat, dengar dan rasakan. Dan alam yang luas ini, salah satu guru terbaik. Alam takambang menjadi guru, kata salah satu pepatah...