Langsung ke konten utama

JOKO PART 1: Orang Gila Yang Rendah Hati


Ilustrasi: google
“Kerendahan hati bisa muncul dari siapa saja, termasuk dari orang yang kita anggap gila.”

Banyak sekali sebenarnya cerita mengenai orang gila yang satu ini. Tapi mungkin sangat sedikit dari kami yang menyadari bahwa ada banyak pelajaran dan kebaikan yang ditanam di kampung ini oleh Joko. Seringkali kita hanya mau belajar pada orang yang tampak hebat dan punya gelar atau titel secara akademis. Kita hanya melihat kulit luar saja tanpa mau sedikit merendahkan hati untuk mencari “isi” yang menjadi inti sebuah perbuatan itu.

Di ujung barat kota Surabaya yang berbatasan dengan Gresik. Tepatnya di Sidorejo Kelurahan Pakal. Dulu daerah ini masuk wilayah kecamatan Benowo. Kemudian ada pemekaran wilayah, jadi sekarang masuk wilayah Pakal. Disinilah aku tinggal.

Ia berperawakan sedang. Tingginya kurang lebih 175cm, kulitnya hitam. Saking akrabnya ia dengan sinar matahari. Posturnya ideal khas tentara. Orang-orang memanggilnya Joko. Orang gila yang rendah hati. Tak ada yang tahu darimana ia berasal. Sudah sekitar dua puluh tahun ia di sini. Setiap orang di kampung ini saya yakin pasti pernah dibantu olehnya. Entah itu pekerjaan yang ringan hingga berat. Misalnya menyuruh membelikan rokok, mencuci sepeda motor, menimba air, hingga menjadi kuli membangun rumah.

Dulu, waktu pertama kali ia ke sini rambutnya gondrong sepunggung dan membawa buntalan pakaian. Ia duduk di bawah gapura seharian. Hingga Bapak Su menghampirinya. Ternyata kaki Joko sedang terluka. Luka yang agak parah, mungkin terjatuh atau di tabrak sepeda motor. Kemudian Pak Su membawa Joko ke rumahnya. Saat ditanya tentang asal usulnya, bicaranya ngelantur. Kemudian Pak Su lah yang memberinya nama Joko. Awalnya keluarga beliau agak takut dengan kehadiran Joko. Karena memang penampilan Joko yang nyeleneh.

“Haus ndoro.” Kata Joko.
Istri Pak Su kemudian mengambilkan air mineral di botol.
“Bukan itu ndoro, yang dingin di kulkas.” Kilah Joko, menolak.
Keluarga Pak Su agak bingung juga. “Lha wong gendeng kok yo ngerti kulkas”.
“Jenengmu sopo?” Tanya Pak Su.
“Sampun lami gan kulo mboten gadah jeneng” jawab Joko dengan logat jawa halus, sambil nyengir.
“Tak celuk Sinyo yo.” Tanya beliau.
Joko menggelengkan kepala.
“Yowis nek ngono saiki awakmu tak jenengi Joko yo?” kata pak Su.
“Lha nggih, hahaha”. Jawab Joko sambil tertawa.

Pak Su yang berprofesi sebagai bos mebel setiap hari dengan telaten merawat Joko hingga kakinya sembuh. Kemudian Joko disuruh tinggal di rumah beliau, tapi Joko menolak. Ia lebih memilih tidur di Pos Tingkat. Dulu Pos Tingkat ini letaknya di belakang gapura utama di pinggir jalan raya. Tapi sekarang sudah dibongkar dan dipindah ke dalam kampung. Saat pos tingkat ini dibongkar, Joko merasa agak kebingungan. Ia kemudian mencari tempat lain untuk ditinggali. Terkadang ia tidur di emperan sekolahan SD Pakal yang katanya dulu angker. Sebab, di depan Sekolahan ada Telaga Kecil. Dulu banyak orang yang melihat penampakan hantu di situ. Tapi sekarang Telaga itu sudah diurug. Terkadang juga ia tidur di Madrasah di sebelah Masjid.

Setiap hari ada saja yang dikerjakan oleh Joko. Banyak orang yang terkadang sampai antri untuk menggunakan tenaganya. Menurut saya, Joko adalah orang yang unik. Ia serba bisa. Bahasa kerennya mungkin “Multi Talenta” atau banyak keahlian yang ia bisa. Suatu ketika paman teman saya membangun rumah, dan Joko membantu menjadi kuli di situ. Dengan upah makan saja. Sebab, Joko memang tidak mau di kasih uang.

Pembangunan pondasi rumah telah selesai. Tiba-tiba Joko mengambil kayu kecil. Ia menggambar  di tanah dengan kayu tersebut. Rancangan desain rumah. Semua orang di situ terhenyak kaget. Sebab, Joko menggambar sambil menjelaskan perhitungan ukuran dengan detail layaknya seorang arsitektur ulung. Dan menurut paman teman saya yang faham bangunan, apa yang digambar dan diomongkan oleh Joko adalah benar dan sesuai dengan ilmu bangunan.

“Loh, lha iki wong gendeng kok ngerti ilmu arsitek, piye iki?.” Kata Pak Tiyono dengan heran.
“Emboh, aku yo heran.” Kata orang-orang di situ bersamaan.
“Joko, kowe belajar nangdi kok isok nggambar ngene iki?” Tanya mereka.
“Hahaha, you raise me up tomorrow I’ll can see. Minta rokoknya den?”. Joko tertawa sambil menyanyi.
“Oalah, dasar wong gendeng.” Kata orang-orang mulai kesal.
Hari mulai sore, matahari mulai surut di ufuk barat. Mulai digantikan oleh sang malam. Joko pamit pulang kepada pak Tiyono. Ia berjalan menuju pos tingkat, tempat tinggal yang selama ini ia tempati.
 “Saya pulang dulu den ya?” kata Joko berpamitan.
“Oh iyo, suwun yo Jok.” Jawab mereka.

Joko kemudian pulang dan mandi. Waktu maghrib telah tiba, suara adzan mengalun merdu di masjid Miftahul Jannah. Orang-orang bergegas menuju Masjid untuk melaksanakan sholat Maghrib. Tibanya waktu maghrib menandakan bergantinya siang menjadi malam. Usai adzan, orang-orang yang mendengarnya pun berdo’a : “Ya Allah, waktu malamMu telah datang dan waktu siangMu telah berlalu. Maka, ampunilah dosaku.”

Usai mandi, Joko berjalan keliling kampung. Seperti biasa ia menghampiri anak-anak muda yang sedang bermain gitar dan nongkrong disitu. Teman saya mas Widi sedang memainkan gitarnya. Tiba-tiba Joko tertarik ingin menyanyi. Tak disangka, ternyata Joko bisa bermain gitar dan menyanyi lagu barat yang termasuk lumayan susah jika dinyanyikan. Hanya orang-orang yang berkecimpung di dunia musik yang tahu lagu itu.
“Boleh pinjam gitarnya den?.” Tanya Joko.
“O iyo Jok, monggo.” Kata mas Widi sambil menyerahkan gitar.
Mulailah Joko memetik gitar dan menyanyi. Sebentar saja kemudian ia berhenti dan diam saja.
 “Di stem dulu den gitarnya, suaranya ndak enak. Kurang pas.” Kata Joko, menyuruh mas Widi menyetel gitar.
“Loh, sing temen Jok. Iyo ta?.” Jawab mas Widi agak kaget.
Gitar kemudian beralih ke tangan mas Widi. Beberapa kali dipetik. Ternyata benar, kurang stem. Mas Widi membetulkan nada gitarnya.
“Oke, iki Jok wis Setel, wis enak iki.”
“Iya Den.” Jawab Joko.
“jreeengg,… lha ini baru pas Den.”
“Ooo.” Mas Widi manggut-manggut sambil melongo.

Dalam hati ia berkata, “Iki wong gendeng kok isok gitaran. Iki aku sing gendeng ta piye iki.”
Joko kemudian menyanyi lagi, dengan asyiknya ia melantunkan lagu barat. Ternyata Joko bisa berbahasa inggris dengan baik. Terbukti ketika menyanyi, ia melafalkan lyric lagu dengan bahasa yang pas. Kalau orang tidak bisa berbahasa inggris, pasti akan kesulitan melafalkan lyric lagu. Sebab, di dalam bahasa inggris, antara tulisan dengan pengucapannya sangat jauh berbeda.  

Pernah suatu ketika Joko dipukuli oleh anak-anak kampung yang lagi mabuk. Namun Joko diam saja tak membalas sedikitpun. Padahal saya yakin jika seandainya Joko membalas, pasti anak-anak itu akan babak belur atau patah tulang dihajar Joko. Sebab, saya pernah dengar bahwa Joko ternyata juga jago beladiri. Mungkin ia telah menguasai ilmu Padi. Ah, entahlah.

Salah satu yang masih terekam dalam ingatan saya adalah ketika Joko makan. Abah Y juga pernah bercerita bahwa jika Joko sedang makan maka, ia tak akan mau diganggu oleh siapapun. Joko beberapa tahun ikut membantu saya di warung. Ia cekatan dalam bekerja. Ia kerap memanggil saya 'Den atau Ndoro'. Porsi makan Joko mungkin tiga kali orang normal, namun itu sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Ia sangat kuat. Tak ada sedikitpun bunyi sendok beradu dengan piring. Kalau makan Joko tergolong agak lama, hingga piringnya sangat bersih tanpa ada sisa sebutir nasi pun.

“Lha iyo mas, aku niru coro mangane Joko wae ora mampu” kata Abah Y.
“Nopo’o lho Bah?” Tanya saya kalem.
“Joko iku nek mangan, wes pokoke madep mantep dan sangat menikmati. Ora onok suoro sendok natap piring utowo lambene kecappan” tutur Abah Y menerangkan.


Itu mungkin sebagian kecil dari perilaku seorang Joko yang sehari-hari kita anggap gila. Joko sangat peduli kebersihan, ia sangat menjaga kebersihan dirinya. Dulu sebelum warungku ada PDAM, Joko lah yang setiap hari menimba air ke depan warung di seberang jalan. Sambil ia mengguyur tubuhnya hingga basah kuyup. Seingat saya ia juga tak pernah menolak jika ada orang yang memerlukan tenaganya. 

To be continue ...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NYEKAR DI MAKAM SIMBAH

Pagi ini sehabis subuh. Aku dan kakak sepupuku sepakat untuk berangkat ke Nganjuk. Kami ingin nyekar/ berziarah ke Makam simbah. Harusnya kemarin aku pulang, tetapi tidak jadi. Maka, pagi inilah rencanaku berhasil kuubah menjadi kenyataan.  Makam desa ini tanahnya becek sepertinya sisa hujan kemarin. Banyak daun-daun trembesi yang gugur mengotori permukaan tanah makam. Petugas makam mungkin lupa membersihkan atau memang sengaja dibiarkan agar anak cucu Sohibul makam lebih peduli dan punya inisiatif untuk menyapu dan memungut dedaunan itu.  Hari ini, sehari menjelang Ramadan. Banyak orang membawa tas kresek berisi bunga tabur. Rasanya memang tidak lengkap jika sowan dengan tangan kosong. Orang-orang sibuk berdoa, melanjutkan harapan-harapan baik untuk sanak keluarga yang sudah lebih dulu "pulang" ke kampung asal. Alam ruh, barzah.  Simbahku telah lama berpulang. Mungkin "di sana" beliau juga sedang bersiap menyambut datangnya ramadan. Bulan dilipatgandakannya segala ...

NEGERI HALIMUN

Sumber gambar: pixabay.com Kawanan Zebra berlari di jalanan. Ada pula Gajah, Badak, Serigala, yang memenuhi jalan. Ia    mengucek matanya. Seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Di dalam rumah-rumah pun sama. “Ini tidak benar, ini hanya mimpi.” Ia mencubit lengan kemudian menampar pipinya. Terasa sakit. Kenapa semuanya tiba-tiba berubah dalam sekejap? apa yang terjadi sebenarnya? Berbagai pertanyaa n berjejal memenuhi otak dan menuntut jawaban. Tanah yang ia pijak masih normal , tidak berubah menjadi lahar atau padang pasir. Rumah-rumah pun masih tampak seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Tapi ke mana mereka? Ke mana semuanya? Ada apa dengan kota ini. Atau pertanyaannya, apa yang terjadi dengan diriku?

PANDEMI PERGI, KAMI BERANGKAT

Hidup adalah perjalanan, maka sering-seringlah berjalan. Melangkahkan kaki, melihat dunia. Kemudian ukuran perjalanan, bukanlah seberapa jauh jarak yang kita tempuh. Melainkan seberapa banyak pelajaran dan hikmah yang kita dapat. Kemudian dengan itu, dapat merubah cara pandang kita menjadi lebih baik dan lebih luas. Melihat sawah di belakang rumah, berkunjung ke pasar, berziarah ke makam juga merupakan sebuah perjalanan. Tak perlu tergesa berpikir terlalu jauh untuk piknik ke luar negeri dan menjadi turis—meskipun ini juga menjadi cita-cita saya. Mulai saja dari yang dekat. Seratus meter, dua ratus meter dari rumah untuk mengenal keadaan sekitar, menggerakkan badan dan pikiran. Sebab, salah satu esensi sebuah perjalanan adalah bergerak, ‘membaca’ dan mengenal. Melihat dan mendengar. Kita belajar. Tholabul ilmi. Kita belajar dari mana saja. Dari apa yang kita lihat, dengar dan rasakan. Dan alam yang luas ini, salah satu guru terbaik. Alam takambang menjadi guru, kata salah satu pepatah...