Langsung ke konten utama

Karna

1
Hatinya dirundung gelisah
Kabar peperangan tak mungkin tercegah
Ia tak rela diantara putranya
Saling merenggut nyawa
“Oh Dewa, tidakkah Engkau tahu perasaan para Ibu?”
Air mata pun luruh


Menjelma sungai
Menghanyutkan jiwanya
“Aku harus menemuinya, Matahari kecilku.”
Ia melangkah
Membilas resah
2
Senja di tepi sungai Gangga
Perempuan itu duduk bersandar di bawah pohon
Menunggu puja di kuil itu

Lelaki itu berjubah matahari
Kelahirannya berhias kemulyaan dan dosa
Dihanyutkan rasa malu
Setiap gelombang adalah tantangan
Jeram itu ujian
Sejak bayi bergurau dengan maut
Mengakrabi gunung dan tebing curam
Dibesarkan caci maki dan penolakan

Namun, Radha tetap mencintai
Melebihi Ibu kandungnya

Setiap kutukan ia anggap anugerah
3
Puja dan doa telah dihaturkan
“Ibu, siapakah engkau? Adakah engkau meminta
berkah dariku?.”
Derai air mata tak terbendung
Angin pun membisu

“Maaf Ibu, aku mengenalmu hanya dalam mimpi-mimpiku.”
Dan mimpi indah hanya penghibur di kala tidur

Ia tak mengingkari nurani
Krishna menyirami tetes embun pencerahan
Di medan perang pandawa tetaplah lima
Dua kutukan  itu mengiringi

Sebab, Pandawa dalam rahim Krishna
Ia tak bergeming
Ia Ksatria
Memilih jalan setia pada Duryudana
Tetes air mata Kunti
Menggugurkan perisai hatinya
Kebencian itu, satu-satunya senjata
Telah hancur

Dan duka kembali bergemuruh
Musuh sejati dalam diri telah runtuh
4
Padang Kurusetra nan gersang
Saksi abadi
Disirami darah dan air mata

Pertempuran maha dahsyat
Radha, Kunti, Surtikanti
Menghampiri
Raga kian melemah
 Lehernya tertembus anak panah

“Sumpahku telah terpenuhi, kemenangan
Pandawa di ujung mata”.

Matanya terpejam. Lelap
Sang istri menyusul
Tak rela belahan jiwa terbenam sepi
Titisan Sang Wisnu tersenyum. Memuji
Kobaran api menjadikannya murni kembali

“Ibu, apakah kelahiran sebuah kesalahan?”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NYEKAR DI MAKAM SIMBAH

Pagi ini sehabis subuh. Aku dan kakak sepupuku sepakat untuk berangkat ke Nganjuk. Kami ingin nyekar/ berziarah ke Makam simbah. Harusnya kemarin aku pulang, tetapi tidak jadi. Maka, pagi inilah rencanaku berhasil kuubah menjadi kenyataan.  Makam desa ini tanahnya becek sepertinya sisa hujan kemarin. Banyak daun-daun trembesi yang gugur mengotori permukaan tanah makam. Petugas makam mungkin lupa membersihkan atau memang sengaja dibiarkan agar anak cucu Sohibul makam lebih peduli dan punya inisiatif untuk menyapu dan memungut dedaunan itu.  Hari ini, sehari menjelang Ramadan. Banyak orang membawa tas kresek berisi bunga tabur. Rasanya memang tidak lengkap jika sowan dengan tangan kosong. Orang-orang sibuk berdoa, melanjutkan harapan-harapan baik untuk sanak keluarga yang sudah lebih dulu "pulang" ke kampung asal. Alam ruh, barzah.  Simbahku telah lama berpulang. Mungkin "di sana" beliau juga sedang bersiap menyambut datangnya ramadan. Bulan dilipatgandakannya segala ...

NEGERI HALIMUN

Sumber gambar: pixabay.com Kawanan Zebra berlari di jalanan. Ada pula Gajah, Badak, Serigala, yang memenuhi jalan. Ia    mengucek matanya. Seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Di dalam rumah-rumah pun sama. “Ini tidak benar, ini hanya mimpi.” Ia mencubit lengan kemudian menampar pipinya. Terasa sakit. Kenapa semuanya tiba-tiba berubah dalam sekejap? apa yang terjadi sebenarnya? Berbagai pertanyaa n berjejal memenuhi otak dan menuntut jawaban. Tanah yang ia pijak masih normal , tidak berubah menjadi lahar atau padang pasir. Rumah-rumah pun masih tampak seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Tapi ke mana mereka? Ke mana semuanya? Ada apa dengan kota ini. Atau pertanyaannya, apa yang terjadi dengan diriku?

PANDEMI PERGI, KAMI BERANGKAT

Hidup adalah perjalanan, maka sering-seringlah berjalan. Melangkahkan kaki, melihat dunia. Kemudian ukuran perjalanan, bukanlah seberapa jauh jarak yang kita tempuh. Melainkan seberapa banyak pelajaran dan hikmah yang kita dapat. Kemudian dengan itu, dapat merubah cara pandang kita menjadi lebih baik dan lebih luas. Melihat sawah di belakang rumah, berkunjung ke pasar, berziarah ke makam juga merupakan sebuah perjalanan. Tak perlu tergesa berpikir terlalu jauh untuk piknik ke luar negeri dan menjadi turis—meskipun ini juga menjadi cita-cita saya. Mulai saja dari yang dekat. Seratus meter, dua ratus meter dari rumah untuk mengenal keadaan sekitar, menggerakkan badan dan pikiran. Sebab, salah satu esensi sebuah perjalanan adalah bergerak, ‘membaca’ dan mengenal. Melihat dan mendengar. Kita belajar. Tholabul ilmi. Kita belajar dari mana saja. Dari apa yang kita lihat, dengar dan rasakan. Dan alam yang luas ini, salah satu guru terbaik. Alam takambang menjadi guru, kata salah satu pepatah...