Beberapa hari ini saya asyik mengunjungi blognya Agustinus Wibowo yang menceritakan kisahnya menyusuri perbatasan timur Indonesia yaitu negara Papua Nugini. Banyak sekali cerita perjalanannya yang menginspirasi bahkan ada juga salah satu ceritanya yang hampir membuat saya meneteskan air mata. Ia piawai mengolah kata. Membaca tulisannya seperti membaca kumpulan cerpen. Tulisannya hidup, apalagi ditambah dengan foto-fotonya yang menarik.
Kabarnya ia berencana menulis buku lagi tentang Indonesia. Namun ia memulai dengan batas terluar negeri ini. Dan ia telah memulainya dari Papua Nugini.
Saya bertemu sekali dengannya di Perpustakaan Balai Pemuda Surabaya. Saya lupa tanggalnya, mungkin sekitar pertengahan tahun 2013. Saat itu Mas Agustinus sedang mengadakan acara bedah bukunya yang ketiga yaitu Titik Nol: makna sebuah perjalanan. Bisa dibilang ini adalah buku Trilogi, dan ini adalah pamungkasnya setelah buku Selimut Debu dan Garis Batas. Dulu saya tak begitu paham dengan seorang pejalan atau Backpacker, apa sih yang mereka cari? hingga rela menghabiskan uang, waktu, dan tenaganya hanya untuk menjelajahi tempat-tempat asing. Bahkan tak jarang pula mereka harus menghadapi marabahaya. Namun kemudian persepsi saya berubah usai bertemu seorang Agustinus Wibowo.
Kabarnya ia berencana menulis buku lagi tentang Indonesia. Namun ia memulai dengan batas terluar negeri ini. Dan ia telah memulainya dari Papua Nugini.

Saat bertemu dengannya, saya tak menyangka sama sekali. Saya kira ia berperawakan kekar dan tinggi besar dengan wajah yang keras. Ternyata saya salah, postur tubuhnya seukuran saya, pendek dengan wajah khas orang China. Seulas senyum menghiasi bibirnya. Tak terbersit sedikitpun dalam pikiran saya bahwa ia telah menyusuri Timur Tengah hingga bertahun-tahun lamanya. Perjalanannya dimulai dari Stasiun Kereta Api Beijing, China pada tanggal 31 Juli 2005. Dari negeri tirai bambu itu ia naik ke atap dunia Tibet, menyeberang ke Nepal, turun ke India, kemudian menembus ke barat, masuk ke Pakistan, Afghanistan, Iran, berputar lagi ke Asia Tengah, diawali Tajikistan, kemudian Kyrgyzstan, Kazakhstan, hingga Uzbekistan dan Turkmenistan. Ribuan kilometer yang dilaluinya ia tempuh dengan berbagai macam alat transportasi seperti kereta api, bus, truk, hingga kuda, keledai dan tak ketinggalan jalan kaki.
Persepsi saya pun berubah. Saya kemudian banyak membaca tulisan-tulisan cerita perjalanan dan Blog Agustinus Wibowo yang paling sering saya kunjungi selain Trinity The Naked Traveler dan Marischka Prudence. Banyak hal yang saya dapat usai membaca tulisan mereka. Bahwa seorang pejalan akan selalu menemukan hal-hal baru dalam setiap langkah mereka. Dari situlah mereka belajar.
Saya tak akan pernah tahu tempat-tempat indah atau yang sangat buruk sekalipun jika sebuah perjalanan tak dituliskan. Sebuah tulisan cerita perjalanan sedikit banyak mengungkap realita yang terjadi yang tak mungkin kita tahu jika hanya melihat berita di televisi yang hanya sekilas.
Terakhir, setiap orang memiliki perjalanannya masing-masing. Jika tak ada buku atau tulisan perjalanan, bisa jadi kita tak akan pernah bercermin atas perjalanan kita sendiri. Kemudian kita tak perlu menjadi huruf orang lain, tapi kita perlu membaca huruf orang lain agar kita mengerti huruf kita sendiri.
Selamat melakukan perjalanan.
Komentar
Posting Komentar