Langsung ke konten utama

Wujud Kebersamaan Dalam Bingkai Teks dan Visual (Review buku SATU: photopoem)



Sebuah kesederhanaan coba ditampilkan lewat sampul buku yang berwarna hitam polos tanpa hiasan ornamen apapun. Judulnya pun pendek saja dan tak neko-neko, hanya angka “SATU” berwarna perak yang dibangun dari kepingan mozaik dan ada tulisan photopoem di bawahnya  . Sederhana memang. Namun justru disitulah letak kerumitannya. Menyederhanakan sesuatu itu pekerjaan sulit. Apalagi sebuah karya bersama yang memadukan unsur teks dan visual, mengkolaborasikan puisi dan fotografi.

Segala kesulitan demi kesulitan itu terbayar lunas ketika buku ini lahir. Buku ini sekali lagi menunjukkan bahwa puisi dan fotografi layak bersanding sebagai teman akrab. Sebuah kebersamaan yang indah. Hangat dan harmonis.


Saya setuju bahwa kata-kata dalam puisi mampu mengantarkan ke sebuah nuansa dan tempat. Begitu pun dengan sebuah foto yang mampu menghadirkan kata-kata bagi yang melihatnya.   dan sebuah dialog pun terjadi antara lima penyair dan lima fotografer. Sebuah dialog yang mampu mengisi ruang hati. Mereka adalah: Didik Siswantoro – Haryo Suryo Kusumo, Heti Palestina Yunani – Leo Arief Budiman, Sol Amrida – Mamuk Ismontoro, Vika Wisnu – B.G. Fabiola Natasha, Wina Bojonegoro – Peter Wang.

Menjadi SATU itu tidak mudah. Apalagi dengan sepuluh tema berbeda yang terdiri dari: gelora, berlari, kenangan, kuat, cinta, menepi, ramai, berani, tulus, dan tumbuh. Namun ke-lima pasangan penulis dan fotografer ini mampu membuktikan bahwa sepuluh tema terjalin apik. Satu sama lain saling melengkapi dan menggenapi.

Sebelum buku diluncurkan, SATU telah ditampilkan dalam Pameran Fotografi dan Puisi bertajuk sama, yang digelar di House of Sampoerna Art Gallery sejak 11 Agustus hingga 2 September 2017.    

Saya menyukai hampir keseluruhan isi buku ini. Entah foto atau puisinya. Seperti salah satu puisi Sol Amrida ini.

PADA KELOPAK RUNTUH
Ingin kuatur garis-garis di tanganmu. Menjadi sebuah jalan bernasib.
Dan kita bertemu di genggaman terbuka.
Memetik kelopak bunga tanpa duri.

Tapi,
Keinginan tak mesti abadi
Nasib tak harus dijejali
Sebab, selalu ada pasti:
Waktu
: menggenggam mati
***
Di halaman sebelahnya ada foto karya Mamuk Ismontoro, daun-daun kering yang gugur berserakan. Jika boleh menafsirkan, puisi dan foto ini sangat padu menurut saya. Pesan yang ingin disampaikan pun jelas, bahwa waktu tak mau menunggu dan ada batas-batas yang tak mampu kita lewati. Jika sesuatu sudah dijemput waktu, maka itu sebuah kepastian yang pasti terjadi.
Ada lagi salah satu puisi karya Heti Palestina Yunani. Puisi yang tak begitu panjang dan dengan diksi yang sederhana, tapi mempunyai kesan yang kuat ketika saya membacanya.  

PELARIAN TERBAIK
Bukan untuk siapa-siapa
Tapi pulang ke tanahmu
Berbuah rindu, membuat haru
Tak mengobati apa-apa
Namun lukaku sembuh

Boleh aku sejenak merancang mimpi di sini?
Inilah pelarian terbaikku
Kotaku sudah sesak oleh kenangan
Harapan saja yang membuatku bertahan
***
Di halaman sebelahnya ada foto karya Leo Arief Budiman. Foto kaki orang berlari yang agak blur dan lesatan cahaya yang menggambarkan orang sedang berlari kencang hingga yang tampak hanya sekilas bayangannya saja. Bahwa kita selalu butuh tempat untuk “pulang” dan menepi sejenak untuk berdamai dengan masa lalu. Serta kita tak boleh kehilangan harapan.

Membaca buku ini sesungguhnya seperti menikmati keping-keping mozaik warna-warni yang disusun sedemikian rupa. Tiap-tiap keping warna diwakili oleh pasangan penulis dan fotografer yang saling menjalin dialog antara diksi dan jepret kamera. Mereka saling merespon satu sama lain. Entah foto yang direspon puisi atau sebaliknya puisi yang direspon foto.

Sekali lagi, kolaborasi foto dan puisi ini adalah wujud kebersamaan, untuk menunjukkan bahwa disiplin ilmu yang berbeda ternyata mampu harmonis dan berSATU dalam karya. Dan literasi ternyata tak hanya bisa disosialisasikan dalam pemahaman melek huruf namun juga melek visual.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NYEKAR DI MAKAM SIMBAH

Pagi ini sehabis subuh. Aku dan kakak sepupuku sepakat untuk berangkat ke Nganjuk. Kami ingin nyekar/ berziarah ke Makam simbah. Harusnya kemarin aku pulang, tetapi tidak jadi. Maka, pagi inilah rencanaku berhasil kuubah menjadi kenyataan.  Makam desa ini tanahnya becek sepertinya sisa hujan kemarin. Banyak daun-daun trembesi yang gugur mengotori permukaan tanah makam. Petugas makam mungkin lupa membersihkan atau memang sengaja dibiarkan agar anak cucu Sohibul makam lebih peduli dan punya inisiatif untuk menyapu dan memungut dedaunan itu.  Hari ini, sehari menjelang Ramadan. Banyak orang membawa tas kresek berisi bunga tabur. Rasanya memang tidak lengkap jika sowan dengan tangan kosong. Orang-orang sibuk berdoa, melanjutkan harapan-harapan baik untuk sanak keluarga yang sudah lebih dulu "pulang" ke kampung asal. Alam ruh, barzah.  Simbahku telah lama berpulang. Mungkin "di sana" beliau juga sedang bersiap menyambut datangnya ramadan. Bulan dilipatgandakannya segala ...

NEGERI HALIMUN

Sumber gambar: pixabay.com Kawanan Zebra berlari di jalanan. Ada pula Gajah, Badak, Serigala, yang memenuhi jalan. Ia    mengucek matanya. Seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Di dalam rumah-rumah pun sama. “Ini tidak benar, ini hanya mimpi.” Ia mencubit lengan kemudian menampar pipinya. Terasa sakit. Kenapa semuanya tiba-tiba berubah dalam sekejap? apa yang terjadi sebenarnya? Berbagai pertanyaa n berjejal memenuhi otak dan menuntut jawaban. Tanah yang ia pijak masih normal , tidak berubah menjadi lahar atau padang pasir. Rumah-rumah pun masih tampak seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Tapi ke mana mereka? Ke mana semuanya? Ada apa dengan kota ini. Atau pertanyaannya, apa yang terjadi dengan diriku?

PANDEMI PERGI, KAMI BERANGKAT

Hidup adalah perjalanan, maka sering-seringlah berjalan. Melangkahkan kaki, melihat dunia. Kemudian ukuran perjalanan, bukanlah seberapa jauh jarak yang kita tempuh. Melainkan seberapa banyak pelajaran dan hikmah yang kita dapat. Kemudian dengan itu, dapat merubah cara pandang kita menjadi lebih baik dan lebih luas. Melihat sawah di belakang rumah, berkunjung ke pasar, berziarah ke makam juga merupakan sebuah perjalanan. Tak perlu tergesa berpikir terlalu jauh untuk piknik ke luar negeri dan menjadi turis—meskipun ini juga menjadi cita-cita saya. Mulai saja dari yang dekat. Seratus meter, dua ratus meter dari rumah untuk mengenal keadaan sekitar, menggerakkan badan dan pikiran. Sebab, salah satu esensi sebuah perjalanan adalah bergerak, ‘membaca’ dan mengenal. Melihat dan mendengar. Kita belajar. Tholabul ilmi. Kita belajar dari mana saja. Dari apa yang kita lihat, dengar dan rasakan. Dan alam yang luas ini, salah satu guru terbaik. Alam takambang menjadi guru, kata salah satu pepatah...