Langsung ke konten utama

KE BIMA: Reuni Keluarga

Ilustrasi: google
 Akhir bulan kemarin saya dan keluarga berkunjung ke Bima dalam rangka menghadiri pernikahan adik sepupu saya. Jadi, yang menikah adalah anak laki-laki Bulik saya. rencananya kami mau naik kapal laut saja. Nikahannya kan tanggal 28 April, jadi kalau naik kapal tanggal 25, dan perjalanan dua hari satu malam, berarti tanggal 27 kami sudah sampai di Bima. Tapi ternyata jadwal kapal ke Bima adanya tanggal 29 April. Rencana pun gagal. Terpaksa kami harus naik mobil. Mau naik pesawat, dompet lagi menipis.



Jika dihitung-hitung, lamanya perjalanan jika naik kapal dibanding naik mobil, hampir sama waktunya. Namun yang membedakan tentu saja adalah rasa capek dan lelah selama duduk di dalam mobil. Kalau naik kapal kan enak, tinggal duduk manis atau bisa sambil tiduran di dalam ruang penumpang. Atau kalau ingin jalan-jalan juga bisa. Kan kapalnya besar. 


Jadilah kami sekeluarga berangkat naik mobil. Kakak sepupuku jadi sopir tunggal, sebab hanya dia yang mahir mengemudi. Kalau saya sih masih amatir, jadi hanya jadi kenek dan menemani sang sopir ngobrol. Sebelum itu, ternyata saudaraku dari Kediri dan Nganjuk juga mau ikut. Pastinya, barang bawaan kami bertambah. Apa boleh buat, maka bagian atas mobil harus dipasang roof rack atau rak bagasi untuk menaruh barang-barang. Dan harganya lumayan, satu setengah juta. Akhirnya persiapan pun kelar. Kami siap berangkat.


Sebenarnya saya tidak ingin ikut, tapi setelah saya pikir-pikir lagi kok sayang kalau tidak ikut. Apalagi paman yang tinggal di Flores juga akan hadir dan bibi saya yang dari Samarinda juga datang. Jadi acara nanti akan seperti reuni keluarga. Kalian bingung ya? oke akan saya ceritakan sedikit. Jadi keluarga saya adalah keluarga perantau. Sejak masih muda, Ibu saya dan adik-adiknya mulai merantau ke Balikpapan. Di sana Ibu membuka usaha warung di tengah pasar, dan adik-adiknya satu-persatu menyusul. Hingga Bulik Yarni, adik ibu yang bungsu yang waktu itu masih SMP pun menyusul. Kemudian warung itu perlahan mulai ramai dan punya banyak pelanggan. Selama dua tahun, warung itu berkembang pesat. Namun di tahun ketiga, terjadilah kebakaran di pasar itu. Seluruh pasar ludes dilalap api. Termasuk warung milik ibuku. Nah, setelah terjadi kebakaran itu keluargaku mulai berpencar. Sampai saat ini.


Kami terakhir bisa kumpul seluruh keluarga pada saat kematian kakekku enam belas tahun yang lalu dan pada saat kematian nenekku tiga belas tahun yang lalu. Jadi bisa kalian bayangkan bagaimana rasanya jika kali ini kami sekeluarga bisa reunian. Maka tak kusia-siakan kesempatan ini. Selama ini saya hanya bertukar kabar lewat telepon dan medsos dengan sepupu-sepupu saya yang jauh. 


Mobil pun berjalan mulus sore itu. Lima jam kami sampai di Paiton Probolinggo, sang sopir mulai mengantuk. Mobil pun berbelok dan berhenti di sebuah warung. Kami pun ngopi sejenak. Setengah jam kemudian, kami jalan lagi. Tak ada hambatan berarti. Perjalanan dua malam satu hari. Pagi hari kami sampai.


Sampailah kami di Bima NTB. Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan dan berliku. Tiga kali menyeberang menggunakan kapal feri dari Banyuwangi-Bali, Bali-Lombok, Lombok-Sumbawa. Kemudian masih harus menyusuri sekitar 500 km melewati beberapa gunung dan sabana. Saya tak kaget, sebab sudah tiga kali ini saya ke Bima. Tapi badan saya tetap saja masih merasakan pegal-pegal. Namun nanti akan terbayar lunas.


***

Ilustrasi: google
Sayang sekali saya tak punya foto sama sekali untuk di tampilkan di sini. HP saya hilang saat perjalanan pulang dari Bima. Saya lupa tepatnya hilang dimana. Tapi terakhir kali saya memegangnya pada saat saya turun untuk membeli ikat kepala khas bali di toko pakaian. Mungkin pada saat itu saya mengeluarkan dompet untuk membayar, tapi saya letakkan HP saya. Dan bimsalabim, bukan sulap bukan sihir. Saya lupa. HP saya pun raib. Saya ingat itu ketika berhenti di rumah makan saat kami hampir menyeberang ke Ketapang. Ah, dermawan sekali saya.

Sepupu saya ganteng sekali memakai jas dan peci hitam. Sementara mempelai perempuan terlihat anggun dengan gaun putihnya. Saya pangling dengan mereka berdua. Sementara saya dan saudara-saudara yang laki-laki memakai batik cokelat, sedangkan saudara-saudara saya yang perempuan memakai kebaya warna pink. Perpaduan warna yang kurang serasi sebenarnya. Namun itu kesan itu terhapus oleh senyum dan wajah yang berbinar bahagia dari seluruh keluarga saya. Dan kerinduan yang sekian lama terpendam akhirnya terbayar. Saya juga melihat ibu yang bahagia sekali bertemu adik-adiknya. Sebuah momen langka yang entah kapan terulang kembali. Mungkin kelak kalau saya menikah. Semoga. 


Saya kira acara resepsi bertempat di rumah mempelai perempuan, ternyata tidak. Acaranya berlangsung di gedung di tengah kota Bima. Saya menyusul ke acara itu belakangan naik motor. Dan alhamdulillah saya sempat nyasar. Lagi-lagi google map menyelamatkan saya. Namun yang saya syukuri ketika saya kesasar adalah kota Bima ini kecil jika dibandingkan Surabaya, jadi jalannya tak begitu rumit. Masih kalah dengan Kota Pahlawan yang jalannya banyak yang satu arah. Jika salah jalur, maka untuk putar balik sangatlah jauh.



Ilustrasi: google
Hampir dua minggu saya di Bima. Setiap malam saya memancing cumi-cumi di pinggir laut, diajak Yudi, adik sepupu saya yang hobi mancing. Dan Sehari sebelum saya pulang ke Jawa, kami main ke Pantai Lariti. Salah satu pantai terindah di kota ini. Jika sore hari dan air laut mulai surut, maka akan terbentang jalan menuju pulau kecil di tengah laut. Laut pun terbelah, indah sekali. Rencananya kami juga mau ke Pantai Pink, tapi lokasinya agak jauh. Terpaksa kami urungkan. 

Acara reuni keluarga pun selesai. Ah, perpisahan selalu saja menyebalkan. Kemesraan ini begitu cepat berlalu. Kebersamaan ini terlampau singkat. Rasanya rindu kami belum terobati. Bahkan benih rindu yang baru telah tertanam di hati sebelum berpisah. Semoga ada episode selanjutnya untuk berkumpul kembali. Sampai jumpa lagi keluarga besarku. Kita akan bertemu kembali nanti di Nganjuk. Pasti. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

NYEKAR DI MAKAM SIMBAH

Pagi ini sehabis subuh. Aku dan kakak sepupuku sepakat untuk berangkat ke Nganjuk. Kami ingin nyekar/ berziarah ke Makam simbah. Harusnya kemarin aku pulang, tetapi tidak jadi. Maka, pagi inilah rencanaku berhasil kuubah menjadi kenyataan.  Makam desa ini tanahnya becek sepertinya sisa hujan kemarin. Banyak daun-daun trembesi yang gugur mengotori permukaan tanah makam. Petugas makam mungkin lupa membersihkan atau memang sengaja dibiarkan agar anak cucu Sohibul makam lebih peduli dan punya inisiatif untuk menyapu dan memungut dedaunan itu.  Hari ini, sehari menjelang Ramadan. Banyak orang membawa tas kresek berisi bunga tabur. Rasanya memang tidak lengkap jika sowan dengan tangan kosong. Orang-orang sibuk berdoa, melanjutkan harapan-harapan baik untuk sanak keluarga yang sudah lebih dulu "pulang" ke kampung asal. Alam ruh, barzah.  Simbahku telah lama berpulang. Mungkin "di sana" beliau juga sedang bersiap menyambut datangnya ramadan. Bulan dilipatgandakannya segala ...

NEGERI HALIMUN

Sumber gambar: pixabay.com Kawanan Zebra berlari di jalanan. Ada pula Gajah, Badak, Serigala, yang memenuhi jalan. Ia    mengucek matanya. Seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Di dalam rumah-rumah pun sama. “Ini tidak benar, ini hanya mimpi.” Ia mencubit lengan kemudian menampar pipinya. Terasa sakit. Kenapa semuanya tiba-tiba berubah dalam sekejap? apa yang terjadi sebenarnya? Berbagai pertanyaa n berjejal memenuhi otak dan menuntut jawaban. Tanah yang ia pijak masih normal , tidak berubah menjadi lahar atau padang pasir. Rumah-rumah pun masih tampak seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Tapi ke mana mereka? Ke mana semuanya? Ada apa dengan kota ini. Atau pertanyaannya, apa yang terjadi dengan diriku?

PANDEMI PERGI, KAMI BERANGKAT

Hidup adalah perjalanan, maka sering-seringlah berjalan. Melangkahkan kaki, melihat dunia. Kemudian ukuran perjalanan, bukanlah seberapa jauh jarak yang kita tempuh. Melainkan seberapa banyak pelajaran dan hikmah yang kita dapat. Kemudian dengan itu, dapat merubah cara pandang kita menjadi lebih baik dan lebih luas. Melihat sawah di belakang rumah, berkunjung ke pasar, berziarah ke makam juga merupakan sebuah perjalanan. Tak perlu tergesa berpikir terlalu jauh untuk piknik ke luar negeri dan menjadi turis—meskipun ini juga menjadi cita-cita saya. Mulai saja dari yang dekat. Seratus meter, dua ratus meter dari rumah untuk mengenal keadaan sekitar, menggerakkan badan dan pikiran. Sebab, salah satu esensi sebuah perjalanan adalah bergerak, ‘membaca’ dan mengenal. Melihat dan mendengar. Kita belajar. Tholabul ilmi. Kita belajar dari mana saja. Dari apa yang kita lihat, dengar dan rasakan. Dan alam yang luas ini, salah satu guru terbaik. Alam takambang menjadi guru, kata salah satu pepatah...