Langsung ke konten utama

Ziarah Wali Songo (lagi)

dok. pribadi
Pagi yang indah. Sinar sang surya menyinari seantero Mayapada. Langit biru sedikit tersaput awan putih. Lalu-lalang kendaraan mulai ramai. Pukul enam pagi orang-orang  sudah mulai berangkat bekerja. Berbeda dengan kami, pagi ini kami akan melakukan perjalanan keliling Pulau Jawa. Menziarahi makam para Wali yang menjadi penyebar agama Islam pertama di Tanah Jawa. Menapaki kembali jejaknya. Sambil berharap, kami dapat sedikit memperoleh pelajaran dari perjalanan ziarah kali ini.

Bus telah sampai di depan Dealer Suzuki Pakal. Sama seperti tahun kemarin, kami memakai Bus Kalisari. Dengan sopir yang sama pula yaitu pak Max dan dua orang teman beliau. Kami segera naik. Tujuan pertama yaitu makam Sunan Ampel. Kebetulan pas ada acara "Haul" di makam mbah Sunan. Maka bisa dipastikan di sana nanti akan sangat ramai peziarah.


Bus mulai berjalan perlahan diiringi bacaan sholawat. Menyusuri jalanan padat kota Surabaya. Setengah jam berlalu, kami telah sampai di makam Sunan Ampel. O ya, perjalanan ziarah kali ini sedikit berbeda. Abah Maksum yang biasa menjadi imam sedang sakit (Semoga beliau cepat diberi kesembuhan), jadi beliau digantikan oleh abah Ali, yang notabene adalah murid dari Kyai Ridwan, pengasuh Ponpes di Benowo. Perangainya kocak. Tapi belum punya kharisma dan wawasan seperti abah Maksum. Yaa, memang sih setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Saya pun menyadari hal itu.



Kami berjalan memasuki makam. Tempat raga sang Wali bersemayam. Sebelumnya kami telah berwudhu. Usai mengucap salam, abah Ali memimpin kami membaca tawasul dilanjutkan dengan bacaan tahlil. Ribuan jamaah memadati area makam. Lantunan bacaan surat Yasin dan tahlil bergema. Suara kami menyatu. Doa kami mengakrabi Kanjeng Sunan. Kerinduan kami semakin membuncah. Semoga "di sana" beliau pun kangen kepada kami.



Sunan Giri




Usai dari makam, kami pun bergegas menuju parkiran bus. Kami akan ke Gresik. Sowan ke makam Sunan Giri. Saya membeli kopyah terlebih dahulu, sebab dari rumah, memang sengaja tidak saya pakai. Sudah usang. Saya ingin membeli kopyah baru. Usai memilih-milih di beberapa toko, akhirnya  kopyah dengan merk "Presiden" saya dapat. Salah seorang panitia, Pak Sumali meniup peluit untuk memberi tanda kepada para jamaah agar segera naik bus.


Bacaan sholawat Abah Ali menandakan agar pak Max tancap gas. Perjalanan kami pun berlanjut. Bus berjalan lewat tol. Dari Surabaya ke Gresik tidak begitu jauh. Sebentar saja kami sudah sampai. Pak sopir mengarahkan bus masuk ke parkiran. Tukang ojek dan kusir andong menyambut kedatangan kami. Saya memilih naik andong. Sudah lama saya tidak naik angkutan ramah lingkungan ini (kecuali bau kotorannya). Seperti nostalgia masa kecil. Dulu jika saya diajak ibu ke pasar Gondang, saya selalu naik andong. Kalau tidak, saya pasti akan menangis.



Sampai juga di pintu gerbang makam bawah. Seratus anak tangga telah menanti. Lumayan bagi orang yang ingin kurus. Naik-turun tangga bisa digunakan untuk membakar lemak. Sebagai olahraga kardio juga untuk menguatkan jantung. Oh iya, ada yang spesial bagi saya, yaitu Ibu saya ikut dalam rombongan ziarah kali ini. Beliau sudah lama saya ajak, tapi baru tahun ini beliau bersedia.

Saya tuntun beliau menaiki tangga. Saya gandeng tangan beliau. Satu-persatu anak tangga terlewati. Sampai di tengah, beliau istirahat sejenak. Saya beri semangat dengan kata-kata lucu agar beliau tertawa. Sebab, tertawa itu katanya bisa menghilangkan rasa capek. Kami melangkah lagi hingga sampai di depan makam.



Raden Joko Samudro, Raden Paku, Prabu Satmata, Sunan Giri. Banyak nama yang beliau punya. Seperti yang saya sebutkan tadi. Itu menandakan bahwa perjalanan hidup Mbah Sunan Giri penuh warna. Tidak hanya beliau, Wali-wali yang lain pun punya nama lebih dari satu. Sunan Giri juga seorang raja. Gelar Prabu Satmata adalah ketika beliau duduk sebagai raja di Giri Kedaton. Kami duduk bersila. Abah Ali memimpin tahlil. Banyak rombongan jamaah lain ke sini bersamaan dengan kami.




Sunan Drajat



Kami juga bertawasul kepada Sunan Gresik atau Syekh Maulana Malik Ibrahim. Karena usai dari sini nanti kami tidak akan sowan ke sana. Tempat parkirnya diubah menjadi lebih jauh. Maka, panitia memutuskan untuk dilewati saja. Saya pribadi merasa kurang lengkap jika tidak sekalian sowan ke sana. Tapi apa boleh buat, saya kan hanya makmum. Jadi ya, saya nurut saja.
Usai berdoa, kami kembali ke tempat parkir naik ojek. Kami segera naik ke bus. Kami akan menuju kota Lamongan. Sowan ke tempat salah satu putra Sunan Ampel, yaitu Raden Qosim atau Sunan Drajat. Tepatnya di desa Drajat, Paciran, kab. Lamongan.



Sunan Drajat yang mempunyai nama kecil Syarifudin atau raden Qosim dan terkenal dengan kecerdasannya. Setelah menguasai pelajaran islam, beliau menyebarkan agama Islam di desa Drajat sebagai tanah perdikan di kecamatan Paciran. Tempat ini diberikan oleh kerajaan Demak. Beliau diberi gelar Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah pada tahun saka 1442/ 1520 masehi. Ada tujuh ajaran Kanjeng Sunan Drajat yang terkenal. Petuah atau ajaran ini diabadikan di jalan menuju area makam. Terdapat kayu dengan ukiran menggunakan bahasa jawa. Ajaran yang sarat nilai dan hikmah.



Lalu-lintas ke arah Lamongan relatif lancar. Ketika kami melewati Sedayu, masih wilayah Gresik, terdengar suara adzan dhuhur. Maka, abah Ali memberi pengumuman bahwa nanti kami akan melaksanakan sholat dhuhur dan ashar jama'-qashar di sana. Hampir satu jam bus menyusuri jalanan dan tibalah kami di tempat parkir. Untuk sampai ke makam, kami tinggal berjalan kaki sebentar. Tidak perlu naik ojek. Sebab, lokasi makam sangat dekat dengan area parkir. Orang-orang bergantian mengambil air wudhu. Kami melaksanakan sholat jamaah terlebih dahulu sebelum memasuki makam. Dua rakaat dhuhur dan dua rakaat ashar.



Usai sholat, kami berjalan menuju makam dalem duwur. Teman saya, Samsul dan kakaknya, Mas Toni berhenti sejenak menyapa bakul pentol. Memang, dua bersaudara ini ngefans banget dengan yang namanya pentol. Setiap singgah dan bertemu dengan pentol, pasti incip dulu. Saya pun akhir-akhir ini ketularan oleh mereka.



Sampai di makam. Abah Ali memimpin tawasul kemudian dilanjutkan doa yang kami amini. Kami berjalan keluar, melewati mushola dan museum. Saya masuk sebentar ke dalam Museum. Melihat barang-barang peninggalan Sunan Drajat. Sebelumnya, kami berfoto bersama di bawah pohon beringin raksasa.




Perjalanan berlanjut, Kami menuju Tuban


Matahari mulai rebah di ufuk barat. Rona jingga melukis langit. Kami terus melangkah. Menapaki "jejak" masa lalu. Pesisir pantai utara. Perahu nelayan berjajar rapi. Sepanjang jalan terlihat hamparan samudera. Jalan yang kami lalui berbatasan dengan pantai. Hari menjelang senja ketika bus memasuki terminal.

Syekh Ibrahim Assamarkand atau orang jawa menyebutnya Syekh Ibrahim Asmorokondi. Berasal dari Samarkand Uzbekistan. Karena berdakwah  di desa Nggesik, orang-orang juga memanggil beliau Sunan Nggesik. Beliau adalah ayahanda Sunan Ampel.



Segera kami berjalan menuju area makam. Hampir satu kilometer jaraknya dari terminal. Di kiri-kanan jalan yang kami lalui berjajar warung makanan dan toko yang menjual oleh-oleh. Karena berada di daerah pesisir, maka banyak yang menjual ikan laut dan terasi udang. Tapi kami tidak mampir untuk membeli. Mungkin nanti usai berziarah.



Sampailah kami di makam Kanjeng Syech. Kami uluk salam dan dilanjutkan membaca tahlil serta berdoa. Usai berdoa, terdengar Adzan maghrib berkumandang. Panggilan Tuhan bagi hambaNya untuk menghadap. "Lapor" kepadaNya. Kami bergegas kembali ke terminal untuk melaksanakan sholat di musholla terminal. Kami sholat di serambi. Sebab di dalam tidak muat. Sholat maghrib dan isya' di jama'. Sebelumnya, Ibu dan mbak Tety membeli oleh-oleh ikan asin dan terasi.



Kami telah berada di dalam bus. Kami akan menuju alun-alun kota Tuban. Di dekat alun-alun itulah tempat yang akan kami ziarahi, yaitu makam Sunan Bonang. Bus mulai berjalan perlahan. Diiringi bacaan Sholawat oleh semua penumpang. Abah Ali menceritakan sedikit tentang kisah Sunan Bonang. Beliau adalah Kakak dari Raden Qosim atau Sunan Drajat. Nama beliau adalah Raden Makdum Ibrahim atau orang-orang memanggil dengan sebutan Sunan Bonang.



Berdasarkan cerita tutur dari berbagai sumber tersebutkan bahwa Sunan Bonang adalah putra Sunan Ngampel Denta dari istrinya yang bernama Nyai Ageng Manila (sumber lain menyebut Dewi Candrawati, putri dari Majapahit), dan kelak ia menjadi Imam yang pertama di Mesjid Demak.

Diperkirakan lahir antara 1440 atau 1465, dan meninggal 1525, masa pelajaran ditempuh di bawah ayahnya, dengan saudara seperguruan Raden Paku yang kelak menjadi Sunan Giri. Namanya sendiri adalah Makdum Ibrahim dan karena tidak pernah menikah, atau setidaknya tak berputra, ia juga disebut Sunan Wadat Anyakra Wati.

Konon ia dan Raden Paku bermaksud naik haji ke Mekkah, dan sebelumnya berguru kepada Abdulisbar atau Dulislam di Pasai (versi lain Wali Lanang, kali ini ayah Raden Paku, di Malaka), tetapi yang kemudian diminta kembali ke Jawa oleh gurunya. Menurut Abdul Hadi WM dalam
Sunan Bonang, Perintis dan Pendekar Sastra Suluk (1993), "Pada tahun 1503, setelah beberapa tahun jabatan imam mesjid dipegangnya, dia berselisih paham dengan Sultan Demak dan meletakkan jabatan, lalu pindah ke Lasem. Di situ dia memilih Desa Bonang sebagai tempat tinggalnya. Di Bonang dia mendirikan Pesantren dan Pesujudan (tempat tafakur), sebelum akhirnya kembali ke kampung halamannya, Tuban."



Sangat terkenal kisahnya sebagai wali yang memberikan Raden Sahid alias Brandal Lokajaya suatu pencerahan, sehingga kelak menjadi pendakwah sinkretik ulung bernama Sunan Kalijaga. Namun dalam Serat Darmagandul yang baru ditulis tahun 1879, yang bersikap negatif terhadap para wali, seperti diteliti Denys Lombard dalam Nusa Jawa, Silang Budaya 2: Jaringan Asia (1990), Sunan Bonang "digambarkan sebagai tokoh kasar dan tidak tahu malu." Tentu saja ini bagian dari "politik dongeng" yang sering bisa dilacak atas berbagai legenda, mengingat tokoh Sabdopalon dan Nayagenggong dalam karya itu digambarkan menolak masuk Islam. (Seno Gumira Ajidarma, Majalah Intisari).


Sampailah kami di terminal bus. Becak-becak berjejer di pinggir terminal. Para tukang becak menghampiri kami, menawarkan jasanya untuk mengantar kami ke alun-alun. Satu-persatu dari kami menaiki becak. Dua penumpang dalam satu becak. Bapak tukang becak mulai mengayuh pedal. Setelah menempuh jarak hampir dua kilometer, sampai juga saya dan penumpang lain di alun-alun. Setelah membayar delapan ribu rupiah, saya pun turun dan berjalan kaki menuju makam. Setelah Melewati gang sempit di pinggir Masjid Agung. Akhirnya sampai juga. Kami pun berwudhu dan langsung menuju area makam. Di depan gerbang makam, kami harus melepas sandal sebelum masuk.
Seperti biasa, abah Ali memimpin salam dan tawasul. Dilanjutkan pembacaan tahlil. Saya sempat tertidur sebentar, bukan karena saking khusu'nya tapi memang amat mengantuk. Usai membaca tahlil, kami mengaminkan doa abah Ali. Tidak hanya kami, dari rombongan lain pun melantunkan doa. Beragam doa bergema. Menyatu dan membumbung tinggi ke langit kekuasaanNya. Bagai benang-benang terjulur, doa dari seluruh peziarah melintasi atmosfir dan terus naik menuju haribaanNya. Semoga para Malaikat pun ikut mengaminkan doa kami.



Pukul sembilan malam. Kami telah siap menyusuri jalanan lagi. Panitia rombongan bertanya barangkali ada diantara kami yang tertinggal. Setelah memastikan bahwa jumlah kami lengkap, Pak Sopir segera tancap gas. Kota Kudus menanti. Kanjeng Sunan Muria semoga juga menunggu kedatangan kami.

Bersambung...



* tulisan dua tahun lalu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bukanlah Kau

Bukanlah kau Jika menjadi angan tak tergenggam Serupa embun yang rapuh Atau cahaya yang runtuh Tetes fatamorgana di tengah sahara Bukanlah kau Jika menjadi kilau tak tersentuh Silau cahaya yang menetas di ujung cakrawala Titik putih di rahim samudera

Biola Itu Akhirnya Saya Jual

Ilustrasi: http://jabar.tribunnews.com/2017/06/19/ ingin-coba-main-biola-nih-7-tips-cara-main-biola-untuk-pemula Jadi begini ceritanya, beberapa bulan lalu saya akhirnya membeli sebuah biola. Bukan biola baru sih tapi bekas. Sudah lama sebenarnya saya ingin bisa memainkan biola. Ingin membeli baru, namun selalu saja ada alasan hingga urung membelinya. Hingga saya diajak oleh sepupu berkunjung ke Gresik, tepatnya di desa Bungah, ke rumah temannya sepupu saya. Orang-orang memanggilnya Pak Acil. Kesan ramah dan murah senyum langsung melekat di benak saya ketika bertemu, beliau sudah berumur 50-an. Ternyata beliau adalah pembuat rebana dan kendang.

NEGERI HALIMUN

Sumber gambar: pixabay.com Kawanan Zebra berlari di jalanan. Ada pula Gajah, Badak, Serigala, yang memenuhi jalan. Ia    mengucek matanya. Seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Di dalam rumah-rumah pun sama. “Ini tidak benar, ini hanya mimpi.” Ia mencubit lengan kemudian menampar pipinya. Terasa sakit. Kenapa semuanya tiba-tiba berubah dalam sekejap? apa yang terjadi sebenarnya? Berbagai pertanyaa n berjejal memenuhi otak dan menuntut jawaban. Tanah yang ia pijak masih normal , tidak berubah menjadi lahar atau padang pasir. Rumah-rumah pun masih tampak seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Tapi ke mana mereka? Ke mana semuanya? Ada apa dengan kota ini. Atau pertanyaannya, apa yang terjadi dengan diriku?